22
Fri, Nov

Waspadai; Wabah ‘Malas Berfikir’ di Medsos

Ilustrasi / Clakclik.com

Opini
Typography
  • Smaller Small Medium Big Bigger
  • Default Helvetica Segoe Georgia Times

Oleh: Husaini | Founder Omah Buku 'Uplik Cilik" | Tinggal di Pucakwangi, Pati, Jawa Tengah

Salah satu penyebab orang termakan hoaks dan misinformasi adalah karena faktor kemalasan berpikir atau cognitive laziness. Orang malas menggunakan daya kritisnya saat menemukan informasi (berita) tertentu.

Penyakit malas berfikir ini banyak terjadi terutama dalam konteks media sosial (medsos) di mana informasi sering hanya dibaca sekilas atau bahkan hanya judulnya saja.

Penderita penyakit malas berfikir ini memposisikan dirinya sebagai pembaca pasif. Mereka tidak memaknai teks sebagai bahan bacaan yang seharusnya dikritisi dan dicari maknanya serta malas mencari pembanding untuk menemukan sumber yang akurat.

Orang yang terjangkiti penyakit malas berfikir biasanya juga bersumbu pendek. Baru membaca judul saja, langsung menyambar dan berkomentar. Ia yang tidak bersumbu pendek, baru baca judul langsung bertanya. Padahal sesuatu yang ditanyakan itu termuat dalam isi berita dimaksud.

Sejumlah lembaga survey baik dalam maupun luar negeri menemukan bahwa penyakit malas berfikir itu tidak hanya dialami oleh orang-orang dengan pendidikan rendah-menengah, namun juga terjadi di kalangan orang-orang dengan pendidikan tinggi. Dalam kasus orang-orang berpendidikan tinggi, biasanya penyakit malas berfikir ini sudah mengalami komplikasi dengan faktor lain; misalnya mereka juga bagian dari korban polarisasi politik, dan lain-lain.

Faktor lain yang bisa mempengaruhi orang malas berfikir adalah kejenuhan. Untuk kasus ini, kita bisa melihat bagaimana sikap masyarakat saat ini terkait informasi tentang Covid-19.

Kita bisa melihat bagaimana orang (tidak pandang bulu baik yang terdidik maupun yang tidak terdidik) merespon informasi tentang Covid-19 dan aneka persoalan turunannya dengan aneka ragam respon negatif. Di media sosial, kita bisa menemukan orang-orang yang saat membaca berita Covid-19 langsung responnya ‘nyolot’; menuduh bahwa itu berita bohong, menyepelekan, hingga menghujat.

Kemalasan berfikir di media sosial ini berbahaya baik bagi individu maupun banyak orang. Hal ini disebabkan karena selain orang tidak mampu menyaring informasi (mana yang benar mana yang hoaks), orang-orang dengan kemalasan berfikir ini biasanya juga memiliki banyak afiliasi; misalnya bergabung di banyak grup medsos, dan atau mereka juga bisa jadi tokoh panutan di kalangan tertentu.

Diakui atau tidak, media sosial kita saat ini dibanjiri oleh gerombolan orang-orang yang mengalami cognitive laziness ini. Parahnya lagi, orang-orang ini juga cenderung narsis, ingin menjadi sosok yang paling menonjol, dominan di grup medsos dan ingin diakui sebagai yang terdepan. Mereka biasanya aktif membagikan aneka informasi yang cocok dengan pikirannya. Atau sesegera mungkin berbagi informasi (yang belum dikonfirmasi kebenarannya) agar diakui sebagai yang terdepan.

Dominannya orang-orang dengan penyakit cognitive laziness di medsos menjadi pasar yang menggiurkan bagi pengusaha media online. Mereka tidak perlu menyediakan informasi yang berkualitas, namun cukup dengan modal clickbait atau umpan klik; kata-kata sensasional atau gambar mini yang menarik mata untuk segera diunduh dan dibagikan.

 

Sign up via our free email subscription service to receive notifications when new information is available.