Oleh: Husaini; Pemerhati Masalah Sosial dan Kebencanaan. Tinggal di Pati, Jawa Tengah
Laporan hasil pantauan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga awal April 2022 menunjukkan dari 1.184 bencana alam, sekitar 90 persen adalah bencana hidrometeorologi.
Data curah hujan tahunan Indonesia dalam 120 tahun terakhir menunjukkan pola yang sangat fluktuatif dan memiliki kecenderungan mencapai intensitas maksimal sepuluh tahunan.
Pola tersebut menggambarkan ketidakstabilan curah hujan, ada periode basah dan kering. Pergeseran antara periode basah dan kering perlu diamati dengan teliti sebab sangat memungkinkan terjadi anomali cuaca yang berpengaruh pada periodisasi musim.
Bukan hanya curah hujan, data suhu tahunan menunjukkan kenaikan signifikan. Tren kenaikan suhu sudah tidak dapat dihindari dan perlu segera mendapat penanganan serius. Rerata lima tahunan data suhu sejak tahun 1900-an memperlihatkan kenaikan sekitar 0,74 derajat celsius dibandingkan dengan tahun 2020.
Bencana hidrometeorologi erat kaitannya dengan interaksi atmosfer dengan sumber daya air di permukaan Bumi. Oleh sebab itu, anomali yang muncul tentu berimbas pada ketahanan sumber daya air, khususnya wilayah perdesaan yang sering mengalami kekeringan lebih panjang. Padahal sumber daya air adalah kebutuhan utama masyarakat desa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang ditopang sektor primer, yaitu pertanian dan perkebunan.
Wilayah desa memang memiliki banyak kekurangan, khususnya sarana dan prasarana penanggulangan bencana. Dari 84.096 wilayah desa atau kelurahan di Indonesia, hanya 11,8 persen yang memiliki sarana lengkap. Kondisi tersebut terlihat tertinggal apabila dibandingkan dengan wilayah kota yang memiliki sistem jaringan jalan, telekomunikasi, dan sistem peringatan dini yang lebih memadai.
Faktor lainnya adalah tumpuan kehidupan masyarakat desa di sektor primer turut meningkatkan risiko kejadian bencana ekstrem karena krisis iklim, seperti banjir bandang, tanah longsor, dan banjir genangan.
Sebagai upaya peningkatan kapasitas desa dalam menghadapi bencana, BNPB mengeluarkan Peraturan Kepala BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana. Berdasarkan definisi umumnya, desa tangguh bencana memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi menghadapi ancaman bencana dan mampu memulihkan diri dengan segera dari dampak bencana.
Bahasan tingkat bahaya dan kerentanan sebuah lokasi yang ditinjau dari perspektif manajemen kebencanaan tidak lepas dari penilaian kondisi fisik lingkungan dan sejarah kejadian bencana sebelumnya.
Sedikitnya 6 persen wilayah desa atau kelurahan di Indonesia melaporkan kejadian bencana di wilayahnya pada 2021 lalu. Bencana alam banjir paling banyak melanda wilayah desa, yaitu total 15.366 wilayah, diikuti tanah longsor di 6.664 wilayah.
Pemahaman tingkat bahaya kebencanaan dapat didekati melalui data sejarah intensitas dan frekuensi kejadian bencana. Oleh sebab itu, makin banyak kejadian bencana dan wilayah terdampak, tingkat bahaya turut meningkat. Apabila dihitung berdasarkan jumlah desa yang mengalami bencana, Pulau Jawa paling berbahaya, yaitu 10.896 desa, diikuti Sumatera (8.769 desa), dan Sulawesi (4.499 desa).
Sayangnya, belum banyak desa yang memiliki sistem peringatan dini dan jalur evakuasi bencana. Hingga tahun 2021, tercatat hanya 10 persen desa yang memiliki sistem peringatan dini bencana dan 8,1 persen yang telah membangun jalur evakuasi.
Tingkat kerentanan desa dapat ditinjau dari banyak hal, mulai dari kondisi fisik, lingkungan, sosial, dan ekonomi. Dalam kaitannya risiko bencana, kondisi fisik atau lanskap lokasi pembangunan desa memiliki pengaruh cukup kuat. Lokasi desa menentukan daya tahan desa terhadap bencana dan faktor-faktor yang menyebabkan bencana, seperti curah hujan.
Secara sederhana, unsur kerentanan dari lokasi desa yang dapat dijadikan penilaian adalah posisinya terhadap lereng atau bantaran sungai. Desa yang berada di lereng pegunungan/perbukitan sangat rentan terkena tanah longsor dan banjir bandang, sementara desa di bantaran sungai tentu tidak terhindar dari risiko banjir.
Setidaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan bagi wilayah desa di lereng pegunungan/perbukitan, yaitu lahan yang diolah dan lokasi rumah harus jauh dari lahan dengan kemiringan lebih dari 45 derajat.
Kemiringan lereng lebih dari 45 derajat memiliki struktur yang lemah dan memungkinkan terjadi tanah longsor. Wilayah desa di lereng juga perlu mewaspadai curah hujan ekstrem sebab bisa menyebabkan terjadi banjir bandang. Di sinilah letak pentingnya sistem peringatan dini dan jalur evakuasi bagi warga desa.
Tak jauh berbeda, wilayah desa yang berada di bantaran sungai juga memiliki kerentanan bencana tinggi, khususnya banjir. Kerentanan banjir tentu besar sebab secara geomorfologi area tersebut merupakan wadah yang menampung luapan air sungai saat debit meningkat atau dikenal dengan dataran banjir.
Melihat kondisi di atas, pembangunan desa tangguh bencana penting dilakukan. Kejadian bencana yang mengancam desa tidak lagi sama, tetapi bisa saja makin sering dan memiliki daya rusak lebih besar dari sebelumnya.