Oleh: Husaini; Sekretaris Gerbang Tani Pati, Jawa Tengah
Praktik pertanian saat ini menjadi salah satu penyumbang emisi karbon terbesar. Selanjutnya, para petani bisa disebut sebagai kontributor kerusakan lingkungan.
Baca juga: https://www.clakclik.com/78-opini/1673-perubahan-iklim-gas-rumah-kaca-dan-pola-makan-kita
Dari mana emisi karbon dihasilkan? Dari bahan bakar peralatan mesin-mesin pertanian (alsintan) pada kegiatan pengolahan lahan. Kita sama-sama mafhum alsintan masih menggunakan bahan bakar solar.
Praktik pertanian dewasa ini juga sangat bergantung pada pupuk dan obat-obatan kimia. Senyawa kimia mengandung nitrogen yang pada saat penggunaan melepaskan unsur nutrigennya ke lingkungan. Nitrogen merupakan salah satu gas rumah kaca penyebab pemanasan global.
Di luar itu, penggunaan pupuk dan obat-obatan kimia menyebabkan pencemaran lingkungan dan pemiskinan unsur hara tanah. Menyebabkan lingkungan yang tidak sehat dan tanah memiliki ketergantungan tinggi pada pupuk.
Petani perempuan di Kabupaten Pati, Jawa Tengah sedang mengompres pestisida di tanaman kacang hijau beberapa waktu lalu/Dok. Clakclik.com
Imbasnya, proses produksi pertanian memerlukan biaya tinggi yang sangat memberatkan petani. Praktik pertanian seperti itu juga menghasilkan produk pertanian yang tercemar yang berimbas pada masalah kesehatan masyarakat.
Praktik pertanian saat ini juga sangat tidak efisien alias boros sumber daya. Mengapa boros sumber daya? Sebab, banyak meterial, terutama dari sisa-sisa produksi yang terbuang ke lingkungan tanpa termanfaatkan. Padahal, residu pertanian tersebut mengandung bahan organik yang sangat bernilai tinggi dan diperlukan dalam proses produksi. Untuk itu, para pakar pertanian ekologis telah lama memperkenalkan konsep pertanian selaras alam.
Pertanian Selaras Alam Sebagai Solusi
Pertanian selaras alam selain berkelanjutan juga ramah lingkungan. Untuk mewujudkan hal itu, praktik pertanian minimal memerlukan tiga kriteria, yaitu rendah emisi, hemat sumber daya, dan tidak mencemari.
Untuk itu, pertanian selaras alam terbebas dari bahan-bahan kimia dengan cara mencari inovasi pengganti bahan-bahan kimia dengan bahan-bahan organik. Inovasi di bidang ini telah banyak ditemukan, baik oleh perguruan tinggi, para praktisi, maupun lembaga penelitian.
Di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, para petani yang tergabung dalam Gerbang Tani Pati bergerak mengembangkan pertanian selaras alam. Ada yang sudah lama melakukan, ada yang baru memulai. Mereka membuat pelatihan-pelatihan bertani organik untuk anggota yang baru. Sedangkan mereka yang sudah lama, memproduksi benih, pupuk, dan pestisida secara mandiri berbahan organik.
Keluarga petani di Kabupaten Pati Jawa Tengah sedang menyiram tanaman jagung saat musim kemarau beberapa waktu lalu/Dok. Clakclik.com
Kampus pertanian paling bergengsi di negeri ini; IPB University telah lama menemukan inovasi penggunaan jerami pada proses penanaman padi. Inovasi ini dipastikan dapat memulihkan kondisi kesuburan lahan sawah dalam tiga tahun. Setelah itu, petani terbebas dari ketergantungan pada input pupuk eksternal.
Selain itu, ragam inovasi pembasmi hama, penyakit, dan pengendalian gulma telah banyak pula ditemukan.
Prof Muguel Altieri, Guru Besar Agroekologi dari University of California, Berkeley, telah menerbitkan banyak buku dan publikasi lainnya mengenai hal ini yang ia populerkan dengan istilah pertanian terpadu. Ia melakukan riset di sejumlah negara, dan berkesimpulan bahwa pertanian terpadu sangat efisien, dapat memulihkan kondisi tanah dan lingkungan pada konbisi alami, serta dapat meningkatkan kesejahteraan petani.
Hal ini pula sejalan dengan konsep revolusi sebatang jerami yang telah lama diimplementasikan para petani Jepang. Belakangan, konsep ini selaras dengan konsep ekonomi sirkular (cyrcular economy), yakni suatu konsep ekonomi yang mengupayakan dalam setiap proses produksi tidak ada materi yang keluar; dan materi selama mungkin berada dalam siklus sehingga pemanfaatannya maksimal.