21
Thu, Nov

NKRI Bersyariah

Ilustrasi / Istimewa

Opini
Typography
  • Smaller Small Medium Big Bigger
  • Default Helvetica Segoe Georgia Times

Catatan tentang Gerakan Wakaf Nasional (2)

Oleh: Farid Gaban; Editor in Chief The GeoTimes Online, Direktur Zamrud Khatulistiwa Foundation

Baca juga: Gerakan Wakaf - Modernisasi atau Penghisapan? (clakclik.com)

Baca juga: Publik, Privat, dan Syariah (clakclik.com)

Pemerintah melalui Kementrian Keuangan membuat klarifikasi penting berkaitan dengan Gerakan Nasional Wakaf Uang yang diluncurkan Presiden Jokowi pekan lalu. Menurut pemerintah: tidak ada dana wakaf umat Islam yang masuk kas negara.

Itu benar sekali. Memang tidak ada sepeserpun uang dana wakaf yang secara langsung masuk kas negara. Tapi, gerakan wakaf dan penguatan brand syariah yang digelar pemerintah punya motif yang jelas: mendorong agar dana umat Islam termasuk wakaf dipakai untuk membeli sukuk (surat utang), yang diterbitkan oleh negara maupun swasta besar.

Lewat sukuk, pemerintah pada akhirnya bisa membiayai proyek dan program pemerintah, termasuk obsesinya terhadap mega-proyek infrastruktur. Bursa saham dan obligasi syariah juga diharapkan bisa membiayai bisnis besar untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi dari atas.

Meski ditekankan bahwa pengelolaan wakaf itu sukarela, pemerintah secara sistematis dan terstruktur mengarahkan para nadzir (pengelola wakaf) untuk tujuan tadi. Pemerintah sudah lengkap mengkooptasi sistem ekonomi dan keuangan syariah.

Badan Wakaf Indonesia (BWI) adalah badan negara. Presiden Jokowi menjadi Ketua Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah. Menteri BUMN Erick Tohir kini adalah Ketua Umum Masyarakat Ekonomi Syariah; Wakil Presiden Ma'ruh Amin, Ketua DPR Puan Maharani dan Ketua MPR Bambang Soesatyo duduk di dewan pembina. Menteri Keuangan Sri Mulyani kini menjadi Ketua Ahli Ekonomi Syariah.

Seluruh ekosistem ekonomi dan keuangan syariah sudah dikooptasi negara. Kedaulatan dan kemandirian umat Islam dalam mengelola dana mereka (termasuk wakaf) makin terbatas. Resources umat Islam diserahkan makin bulat kepada negara. Dan itu ada risikonya.

Bahkan jika punya itikad baik, para politisi Islam yang duduk di badan-badan tadi (termasuk Kiai Ma'ruf Amin) tidak sadar bahwa jabatan mereka terbatasi waktu. Bayangkan jika rezim berganti dan negara dikuasai oleh politikus yang lebih brutal terhadap umat Islam atau beragama Islam tapi lebih korup?

Gerakan Nasional Wakaf dan Brand Ekonomi Syariah dikatakan salah satunya untuk mendidik (mengedukasi) umat Islam agar bisa mengelola dana lebih produktif.

Bukan pertanyaan lagi, bahwa umat Islam memang harus banyak belajar untuk mengelola dananya secara mandiri, khususnya untuk memperkuat ekonomi petani dan nelayan di pedesaan. Tapi, bukan belajar dari negara.

Ada banyak konsep untuk ini, tapi yang paling tepat adalah mengembangkan kapasitas ekonomi-sosial-politik dari bawah lewat model koperasi: baitul maal wa tamwil (BMT) ala Muhammadiyah, credit union ala Katolik, kibutz ala Israel, atau koperasi-koperasi bagus di Jepang, Korea Selatan dan Skandinavia.

Konsep usaha bersama/berjamaah di tingkat komunitas akan lebih menjamin pemerataan; bukan ketimpangan yang diakibatkan oleh penghisapan dana ke atas, ke pusat-pusat kapital bursa saham dan obligasi (meski dengan embel-embel syariah).

Usaha tani/nelayan pada dasarnya adalah sektor informal. Mereka tidak punya koneksi dengan sektor formal dunia perbankan, bahkan syariah sekalipun, yang harus mengikuti aturan ketat Bank Indonesia/OJK dan Konvensi Internaional Basel.

Di samping kemiskinan, kita punya problem ketimpangan ekonomi yang parah. Rasio Gini kita (yang mengukur ketimpangan) mencapai angka terburuk dalam sejarah Indonesia pada era Susilo Bambang Yudhoyono. Pada masa Jokowi sedikit membaik tapi tetap lebih buruk ketimbang masa Orde Baru.

Ketimpangan lahan produktif lebih parah: 1% orang menguasai 68% lahan. Ini memicu banyak konflik agraria, yang memburuk baik di era SBY maupun Jokowi.
Menurut saya, dana umat Islam seharusnya dikelola oleh umat Islam sendiri terutama dalam pemberdayaan ekonomi di tingkat komunitas (lokal, pedesaan), untuk ikut mengudari problem ketimpangan. Negara tak perlu ikut campur, bahkan jika motifnya mau mendidik dan mengedukasi.

Bagaimana negara bisa mendidik jika pengelolaan dana yang dihimpun dari banyak orang seperti Taspen, Jiwasraya, Asabri, BPJS Ketenagakerjaan (semuanya BUMN), menjadi ajang korupsi pesta pora para elit dan politisi?

Bagaimana negara mau mengedukasi rakyat Muslimnya jika dana bantuan sosial untuk orang miskin pun diembat? ***

 

Sign up via our free email subscription service to receive notifications when new information is available.