25
Thu, Apr

Dawet Mbah Lanang; Menyusuri Jalanan, Melintasi Jaman

Dawet Mbah Lanang/Clakclik.com

Inspirasi
Typography
  • Smaller Small Medium Big Bigger
  • Default Helvetica Segoe Georgia Times

Clakclik.com—Jika Anda melintas di jalan tembus dari Kecamatan Pucakwangi  ke Kecamatan Winong atau sebaliknya, via Pasar Sokopuluhan, Grogolsari, Bumiharjo, sesekali Anda akan berpapasan dengan penjual dawet keliling dengan gerobak dorong  dan berjalan kaki. Itulah Dawet Mbah Lanang.

Gerobag itu didorong oleh lelaki paruh baya bernama Giman. Usianya sekitar 66 tahun, warga Desa Wirun Kecamatan Winong. Ia mengaku menjadi penjual dawet sejak usia anak-anak.

Setelah lulus Madrasah Ibtidaiyah (MI) tahun 1969, ia sudah berjualan dawet. Ia mulai jualan dawet keliling dengan memikul dagangannya. Rute jualannya juga lebih jauh dibanding saat ini.

“Tahun 1969 saya sudah jualan dawet. Sejak saya lulus MI. Dulu jualannya dipikul. Kelilingnya sampai ke daerah Sitimulyo, Pucakwangi paling ujung. Pembelinya saat itu juga orang-orang di ladang yang sedang panen padi,” Terang  Giman kepada Clakclik.com, Rabu (9/10/2019).

Giman meyakini bahwa menjadi penjual dawet sudah merupakan takdirnya. Ia mengaku pada 1977-1982 pernah merantau ke Sematra. Bekerja di pabrik getah karet. Namun ia tidak kerasan dan pulang ke kampung. Sampai di  desanya lagi, ia kembali berjualan dawet keliling.

“Praktis sejak tahun 1982 sampai sekarang  saya menjalani profesi jualan dawet keliling. Panas dan hujan saya lalui. Ya disepanjang jalan ini. Jalan lintas Winong-Pucakwangi,” Kata Giman sambil melayani pembeli yang menghentikan  perjalanannya.

Menjadi Saksi Perubahan

Selama 37 tahun perjalanannya keliling berjualan dawet, ia menjadi saksi perubahan-perubahan yang terjadi di kampung-kampung yang ia lalui. Termasuk juga perubahan-perubahan jalan. Ia mengaku bahwa rute jalan yang ia lalui memang saat ini sudah baik, sudah berkali-kali diperbaiki, tapi selalu cepat rusak.

“Seperti jalan sebelah barat Desa Karangrejo itu yang paling cepat rusak. Bahkan beberapa bulan lalu sempat ditanami pisang oleh orang tak dikenal. Ya, itu karena rusaknya sangat parah. Tapi pohon pisangnya saat itu langsung dicabut oleh tim dari Kecamatan Pucakwangi. Meskipun sampai saat ini, jalannya juga belum diperbaiki. Hanya diurug saja,” Kata Giman.

Untuk berjualan dawet keliling, Giman memulai berangkat dari rumahnya jam 06.00 WIB. Biasanya ia kembali pulang ke rumah pada jam 15.30 – 16.00 WIB. Selama sekitar 10 jam itu, ia menyusuri jalan lintas antar kecamatan dan juga blusukan di gang-gang desa. Selama sehari, ia mengaku berjalan sekitar 12-13 kilo meter untuk menjajakan dawetnya.

Lelaki beranak tiga dengan empat cucu ini mengaku dalam sehari, ia bisa mendapatkan keuntungan sekitar 100 ribu rupiah. Namun keuntungan itu tidak tiap hari ia dapatkan. Jika kondisi tubuhnya lelah, ia memilih tidak berangkat dan beristirahat dirumah. Atau jika musim penghujan tiba, ia juga harus menggarap sawahnya dulu. Setelah sawahnya tertanami padi, ia kembali jualan berkeliling.

“Sebenarnya untungnya ya lumayan mas. Bisa 100 ribu per hari. Tapi saya ndak ngoyo. Kalau lelah ya ngaso dirumah. Kadang saya juga ke sawah, menanam padi untuk cadangan pangan. Jadi santé saja. Wes tuwo. Diparingi sehat saja sudah Alhamdulillah,” Kata Giman sambil tersenyum kecil.

Jika Anda menjumpai gerobag Dawet Mbah Lanang, ada baiknya sesekali dihentikan dan dicoba dawetnya. Ditengah terik matahari dan sawah yang kering, Dawet Mbah Lanang sangat cocok sebagai obat dahaga. Harganya seharga ongkos parkir sepeda motor di Kota Pati; hanya 2 ribu rupiah per gelas.

Sign up via our free email subscription service to receive notifications when new information is available.