22
Fri, Nov

Kretek, Antara Budaya dan Bahaya

Kretek, Antara Budaya dan Bahaya

Inspirasi
Typography
  • Smaller Small Medium Big Bigger
  • Default Helvetica Segoe Georgia Times

Clakclik.com—Anda yang sering merokok mungkin pernah memperhatikan tulisan “kretek” di setiap bungkus rokok produksi Indonesia. Namun sering kali kita salah kaprah ketika menyebut “kretek” hanya pada rokok yang tidak memiliki filter atau gabus penyaring dalam sebatang rokok.

Istilah kretek sendiri pertama muncul dari kota Kudus pada abad ke-19. Saat itu orang bernama Djamari sedang mengalami sakit di bagian dada. Kemudian Djamari mengoleskan minyak cengken di bagian dada yang sakit. Setelah itu, lama-lama sakitnya mulai berkurang. Hingga akhirnya Djamari bereksperimen merajang cengkeh dan mencampurnya dengan tembakau kemudian dilinting menjadi rokok. Setelah rutin menghisap rokok temuannya, Djamari merasa sakitnya hilang.

Sejak itu, rokok temuan Djamari menyebar dengan sangat cepat. Banyak permintaan dari masyarakat terkait “rokok obat” temuan Djamari.

Karena cengkeh yang terbakar mengeluarkan bunyi “keretek” saat diisap, maka rokok temuan Djamari ini dikenal dengan nama “rokok kretek”. Awalnya, kretek dibungkus dengan daun jagung kering atau dalam bahasa Jawa, klobot.

Berawal dari temuan Djamari, kini Kudus dikenal sebagai Kota Kretek. Meski rokok berbahaya, namun temuannya sarat akan budaya.

(Sumber Naskah: Intisari-online.com | Sumber Foto: merdeka.com)

 

Sign up via our free email subscription service to receive notifications when new information is available.