Clakclik.com, 30 Januari 2025--Seiring kebutuhan informasi masyarakat, dunia jurnalisme terus berkembang. Masyarakat tidak hanya mengakses karya jurnalistik dari media arus utama (mainstream), tetapi juga karya jurnalistik dari sejumlah media alternatif nirlaba.
Namun demikian, kehadiran media alternatif masih sering dipandang sebelah mata. Padahal, media tersebut juga melakukan liputan khusus dan mengangkat sejumlah kasus yang terkait dengan isu ketidakadilan serta kesetaraan jender yang terjadi di tengah masyarakat.
Ketika media alternatif itu melahirkan produk-produk jurnalistik yang menyentuh isu-isu kemanusian dan ketidakadilan di tengah masyarakat, mereka kerap mendapat tekanan dan kriminalisasi, seperti yang dialami jurnalis media arus utama.
Perlindungan hukum terhadap media alternatif masih sangat minim karena dari sisi regulasi status belum diatur. Dari sisi media, hingga kini meski berbadan hukum, media ini kesulitan untuk masuk dalam pendataan Dewan Pers. Sejumlah persyaratan dinilai memberatkan saat verifikasi di Dewan Pers.
Hasil penelitian dari Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) yang dipimpin Masduki, Ketua PR2Media, pada akhir tahun 2024 lalu, menemukan kehadiran media alternatif nirlaba seperti ProjectMultatuli.org, Konde.co, dan Floresa.co membawa angin sejuk bagi jurnalisme di Indonesia.
”Dengan sumber daya terbatas dan redaksi kecil, mereka menyajikan produk jurnalistik yang cenderung lebih independen dan kritis terhadap kekuasaan daripada media arus utama secara umum. Akibatnya, mereka sering mengalami serangan dan kriminalisasi,” ujar Masduki pada Peluncuran buku hasil riset Perlindungan Media Alternatif di Indonesia: Riset dan Rekomendasi Kebijakan, Jumat (24/1/2025).
Situasi itu, menurut Masduki, membuat status verifikasi dari Dewan Pers menjadi penting, sebagai bagian dari perlindungan hukum. Namun, sejumlah persyaratan Dewan Pers untuk status verifikasi masih sulit untuk dipenuhi oleh banyak media alternatif.
Putri Laksmi Nurul Suci, peneliti PR2Media, menjelaskan, penelitian tersebut melibatkan 10 media alternatif di wilayah di Indonesia. Peneliti menemukan media-media alternatif merasa kesulitan untuk memenuhi seluruh persyaratan pendataan Dewan Pers yang dibutuhkan untuk mengurus status verifikasi.
Dari sembilan kategori syarat yang disediakan, media alternatif tersebut mengalami kendala pada kategori sumber daya manusia, kondisi fisik, dan kesejahteraan pegawai. Status verifikasi menjadi hal penting bagi media alternatif untuk mendapatkan perlindungan hukum dan menjaga keberlanjutan.
Dari 10 media alternatif yang menjadi responden survei, terdapat satu media yang baru saja mendapatkan status verifikasi Dewan Pers (Project Multatuli) dan satu media yang telah mengajukan verifikasi, tapi ditolak (Konde.Co). Sementara itu, delapan media (Independen, Floresa, Progresip, Bincang Perempuan, Bale Bengong, Jaring, Suara Kita, dan Serat) menyatakan belum mengajukan karena belum bisa memenuhi semua persyaratan yang diminta Dewan Pers.
Oleh karena itu, pada bagian akhir riset, PR2Media menyampaikan sejumlah rekomendasi, antara lain, mengusulkan kepada Dewan Pers untuk merevisi Peraturan Dewan Pers No 1 Tahun 2023 tentang Pendataan Dewan Pers atau pembuatan Peraturan Dewan Pers baru, khusus pendataan perusahaan pers untuk media alternatif.
Selain itu, merekomendasikan adanya dana publik dari negara yang diberikan kepada media alternatif yang mengusung jurnalisme berkualitas, yang pengelolaan dananya bisa dilakukan di bawah koordinasi Dewan Pers.
Untuk media alternatif, PR2Media menyarankan pengelola media alternatif perlu membentuk asosiasi agar lebih solid dalam melakukan advokasi sekaligus sebagai jembatan kolaborasi nasional dan internasional untuk upaya keberlanjutan. (c-hu)