Banyak orang bisa menjadi pengajar. Hanya sedikit yang bisa menjadi pendidik. Lebih-lebih pendidik bagi yang miskin dan tersingkirkan. Itulah yang akhirnya saya simpulkan dari pengalaman berinteraksi dengan sejumlah guru.
Hal yang paling dibutuhkan dalam penyelenggaraan pendidikan kita, khususnya bagi mereka yang miskin dan terpinggirkan, bukanlah uang, melainkan para guru atau dosen berjiwa pendidik. Dari pengalaman berinteraksi dengan sejumlah guru, ada pembeda besar antara guru berjiwa pengajar dan guru berjiwa pendidik.
Beberapa tahun yang lalu saya berbincang dengan rekan guru di Tumbangtiti, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Dalam perbincangan itu kami mengumbar ide untuk mengembalikan hakikat kehadiran sekolah kami, yaitu memberdayakan orang-orang muda hingga mereka menjadi orang-orang merdeka di daerahnya sendiri. Cara yang pernah kami pilih adalah memberi tambahan keterampilan di bidang pertanian.
Lalu saya tawarkan suatu proyek untuk membuat pertanian dan peternakan percontohan. Hal yang saya angankan adalah proyek itu menjadi laboratorium dan lahan latihan kreativitas bagi kaum muda dan masyarakat sekitar dalam melakukan pertanian dan peternakan dengan cara-cara yang murah, tetapi memberi hasil optimal.
Dalam bayangan saya, dengan belajar aneka kreativitas pertanian yang salah satunya didapatkan lewat Youtube, kaum muda di sekolah kami bisa mengalami aktivitas pertanian dan beternak yang keren. Saya tawarkan model pertanian hemat air, pembuatan kompos yang sederhana, ternak ayam dan ikan dengan magot, dan aneka pengelolaan pertanian dan peternakan kreatif lain.
Ujungnya, saya bayangkan naluri kreativitas dan nyali mengeksplorasi kreativitas menggelora. Tempurung pengerdil kreativitas tersingkap. Dengan demikian, setelah mereka meninggalkan sekolah kami, mereka menjadi manusia-manusia merdeka yang penuh daya kreativitas, memiliki nyali untuk menjalani hidup karena terbiasa mengelola kesulitan hidup dengan berlatih aneka cara serta kreativitas dalam menyelesaikan masalah.
Di ujung umbar gagasan itu, teman saya mengungkapkan, ”Kami tidak punya dana untuk melakukan itu semua.” Saat itu juga saya berjanji akan mencarikan dana lewat lembaga donasi untuk proyek itu. Dan terjadilah demikian.
Setelah beberapa bulan menerima puluhan juta rupiah untuk proyek itu, teman saya tidak juga segera memulai proyeknya. Katanya, dananya terlalu besar hingga kewalahan untuk membelanjakannya. Akhirnya, dengan tertatih-tatih dana donasi itu ia belanjakan juga. Sejumlah alat pertanian dan kegiatan pertanian dibuat, tetapi laboratorium pertanian untuk kaum muda dan masyarakat sekitar tidak pernah terwujud.
Selesai dengan diri sendiri
Kasus serupa saya alami dengan beberapa teman yang lain. Setiap kali saya tawarkan kreativitas pemberdayaan siswa atau masyarakat, tanggapan spontan yang dinyatakan adalah tidak ada dana untuk mewujudkannya. Lalu, ketika dana didapatkan, dana tersebut tidak dimanfaatkan dengan optimal. Ada yang membelanjakan dana itu hanya untuk proyek sesaat, ada juga yang dimanipulasi untuk proyeknya sendiri.
Pada pengalaman ini, rasanya pendidik itu mensyaratkan kondisi mental seseorang yang telah selesai dengan dirinya sendiri. Orang yang belum selesai dengan dirinya sendiri berpotensi memanfaatkan, mengeksploitasi, serta memanipulasi orang-orang di sekitarnya dan hal-hal lain untuk kepentingan atau proyeknya sendiri. Bentuknya tidak selalu dalam korupsi uang.
Kepuasan guru atau dosen yang belum selesai dengan dirinya sendiri adalah ketika dirinya mendapat sanjungan atau bentuk apresiasi lain dari kegiatan pendidikan yang telah dilakukan. Biasanya mereka suka membuat status aktivitas pendidikan yang dilakukan di media sosial dengan harapan mendapatkan apresiasi atau pujian. Padahal, semestinya seluruh dinamika pendidikan diorientasikan untuk pemberdayaan peserta didik, bukan untuk diri sendiri.
Stephen R Covey, penulis The Seven Habits of Highly Effective People, menyatakan bahwa yang pertama dan utama dalam hidup ini harus mengorientasikan dan memperjuangkan kemenangan publik. Dalam konteks pendidikan, semestinya yang pertama dan utama diperjuangkan oleh para pendidik adalah kepuasan dan keberhasilan siswa, bukan kepuasan atau kemasyhuran diri sendiri.
Dengan demikian, membangun pendidikan yang baik itu sebenarnya mengandaikan terjadinya pengolahan hidup para pendidik yang berkelanjutan agar pendidik semakin menjadi manusia merdeka dari hasrat-hasrat egoisnya. Aspek ini sering diabaikan, bahkan tidak disadari. Akibatnya, banyak ragam bentuk tindak kekerasan dan eksploitatif dalam pendidikan kita yang dilakukan para guru dan dosen.
Peran negara
Alasan lain ketika para guru enggan melakukan kreativitas yang memberdayakan peserta didik adalah tidak memiliki waktu karena harus mengerjakan urusan administrasi. Entah benar, entah tidak.
Yang lain, khususnya di sekolah-sekolah swasta yang kesulitan mendapatkan siswa karena ekspansi masif pembangunan sekolah negeri oleh negara, waktu dan fokus kerja mereka habis untuk mendapatkan siswa baru demi menyelamatkan keberlangsungan hidup sekolahnya. Kelangsungan hidup sekolah swasta akan menentukan kelangsungan hidup para guru di sekolah itu.
Dari fakta terakhir ini, bagaimanapun negara ikut memberi peran hingga menyebabkan para guru tidak memiliki pola didik yang berorientasi untuk memberdayakan dan memerdekakan siswanya. Masygulnya, korban terparah dari tata kelola pendidikan oleh negara semacam ini adalah siswa-siswa miskin, khususnya yang bersekolah di sekolah swasta miskin.
Dengan demikian, kita bisa paham, mengapa begitu banyak dana telah digelontorkan untuk pendidikan, tetapi jumlah kaum miskin di negeri ini tidak berkurang juga. Mungkinkah cara kita mengelola pendidikan justru melanggengkan kemiskinan di negeri ini?
Ditulis oleh Sidharta Susila, Pemerhati Pendidikan, disalin oleh Clakclik.com dari kompas.id untuk kepentingan literasi publik. Naskah tulisan aslinya ada di https://www.kompas.id/baca/opini/2024/04/22/tidak-semua-orang-bisa-menjadi-pendidik?open_from=Opini_Page