Clakclik.com, 20 April 2024 — Praktik perundungan dan kekerasan hingga pelecehan seksual kepada anak-anak semakin banyak ditemukan. Ironisnya, pelaku kebanyakan orang-orang yang dekat dengan kehidupan anak, mulai dari orangtua, kerabat, teman, hingga pengasuh anak. Ancaman ini harus diwaspadai bersama karena dapat menjadi pengalaman yang menghantui anak sepanjang hayat.
Pada kuartal akhir tahun 2023, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat 1.056 (58,7 persen) pelanggaran hak anak berasal dari lingkungan keluarga dan pengasuh alternatif. Hingga saat ini pun masih terus terjadi, anak yang menjadi korban kekerasan seksual oleh ayah kandung serta anak yang menjadi korban kekerasan pengasuh.
”Segala bentuk perbuatan orang dewasa terhadap anak tentu akan meninggalkan jejak dan bayang-bayang bagi anak,” kata dosen psikologi sosial Universitas Airlangga (Unair), Ike Herdiana, seperti dikutip dari laman resmi Unair beberapa waktu lalu.
Jika orangtua dan kerabat terdekat dapat berlaku baik dalam tumbuh kembangnya, ucap Ike, pengalaman baik akan terus membersamai anak. Sebaliknya, jika anak mendapatkan perlakuan buruk pada masa tumbuh kembangnya, akan ada bayangan buruk yang terus menghantui anak.
Menurut Ike, ada banyak faktor yang memengaruhi perilaku orang terdekat anak yang justru melakukan kekerasan pada anak. Masyarakat masih menormalisasi kekerasan orangtua terhadap anak dengan berkedok pendisiplinan.
”Lebih banyak faktor kemiskinan, kurangnya wawasan, pendidikan rendah, dan faktor personal lain. Pelaku juga bisa saja orang yang memiliki masa lalu buruk sebagai korban atau berasal dari keluarga yang tidak harmonis, hingga konflik dengan perkawinan,” kata Ike.
Psikolog klinis dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (UGM), Indria Laksmi Gamayanti, mengatakan, kekerasan pada anak bisa dilakukan oleh siapa saja. ”Sayangnya, menurut penelitian, kekerasan banyak dilakukan oleh orang-orang dewasa terdekat yang justru seharusnya bisa menjadi pelindung dari anak tersebut. Pada banyak kasus, pelaku merupakan orangtua, guru, pengasuh, bahkan sesama anak sendiri dapat melakukan tindak kekerasan,” terang Indria.
Indria menambahkan, dalam ilmu psikologi, kekerasan semasa kecil dapat diklasifikasikan sebagai adverse childhood experiences (ACEs) atau pengalaman-pengalaman buruk di masa kecil. Dampaknya, anak akan cenderung memiliki masalah kesehatan mental dan tendensi kekerasan yang tinggi ketika tumbuh dewasa.
Berbagai kasus juga menunjukkan gejala yang berbeda. Beberapa anak menjadi pribadi yang pendiam, murung, tercekat, cenderung nakal, sering menangis, bahkan ada yang terlihat baik-baik saja hingga sering disalahartikan sebagai proses penyembuhan trauma yang cepat. Gejala ini banyak luput disadari oleh orangtua, padahal sebenarnya anak membutuhkan penanganan lebih dari dampak kekerasan tersebut.
Idria menjelaskan, ada tiga macam bentuk kekerasan pada anak, yaitu kekerasan fisik, kekerasan emosi, dan kekerasan seksual. Saat anak mengalami kekerasan fisik dan kekerasan seksual, pasti diikuti dengan kekerasan emosi atau psikis.
Namun, kekerasan yang paling banyak terjadi dan belum banyak disadari adalah kekerasan emosi. Kondisi ini dialami anak ketika mendapatkan ujaran kemarahan, kebencian, penghinaan, dan bentuk kekerasan verbal lainnya. Paling banyak yang melakukan justru berasal dari orang terdekat anak, khususnya orangtua dalam hal pola asuhnya.
”Secara psikologis, pelaku kekerasan cenderung memiliki gangguan kesehatan mental dalam dirinya sendiri. Faktor pemicu dari tendensi tindakan kekerasan pada pelaku juga bermacam-macam, mulai dari kesiapan mental orangtua, kondisi ekonomi, hingga pengalaman kekerasan serupa di masa kecil,” ujar Indria.
Orang dewasa yang melakukan kekerasan pada anak, kata Indria, umumnya merupakan orang-orang yang tidak matang secara emosi. Bahkan, mungkin saja orang yang semasa kecilnya juga menerima tindakan kekerasan. Padahal, ketika seseorang mengalami kekerasan di masa kecil, ada potensi ia akan melakukan kekerasan yang lebih parah ketika beranjak dewasa.
Kini, marak juga kekerasan yang dilakukan pada sesama anak. Bentuk kekerasan ini banyak ditemui dalam kasus-kasus perundungan atau bullying pada lingkungan sekolah atau teman bermain.
Menurut Indria, penyebab anak melakukan tindakan kekerasan kepada sesamanya juga bisa disebabkan dari lingkungan dan pola asuh orangtua. ”Bisa jadi anak tersebut juga menerima kekerasan dari orangtua atau kurangnya validasi sehingga cenderung mencari validasi pada sesamanya,” ujar Idria. (c-hu)