Di Indonesia, judi adalah ilegal. Namun, judi daring terus berkembang dan semakin mudah diakses masyarakat. Walau penegakan hukum sudah dilakukan, konten judi daring terus bermunculan. Sejatinya, judi bukanlah persoalan hukum semata. Maraknya perjudian menunjukkan adanya masalah dalam kesehatan mental masyarakat.
Seiring berkembangnya teknologi digital, perjudian pun merambah dunia maya. Hanya dengan menggerakkan jari pada layar telepon pintar, seseorang sudah langsung bisa berjudi. Tak perlu pergi ke kasino di negara tetangga atau mencari tempat tersembunyi yang aman dari pantauan aparat hukum, judi daring bisa dilakukan di mana pun, kapan pun, dan dalam keadaan apa pun.
Judi daring juga banyak berkedok sebagai gim daring, platform jual beli saham (trading), hingga konten-konten di media sosial. Bahkan, sebagian pemengaruh (influencer), baik sadar maupun tidak, turut mengiklankan aplikasi judi daring. Akibatnya, judi daring mampu menjangkau masyarakat luas secara masif dalam waktu relatif singkat.
Alhasil, seperti disebut Kementerian Komunikasi dan Informatika di Kompas, 21 Oktober 2023, ada 2,7 juta penjudi selama 2017-2022 yang lebih 80 persennya merupakan penduduk berpenghasilan rendah, seperti pelajar, mahasiswa, buruh, petani, tukang ojek, hingga ibu rumah tangga. Judi daring tidak lagi identik dengan bapak-bapak seperti pada sejumlah judi konvensional, tetapi meluas ke berbagai kelompok populasi.
Selama periode itu, nilai transaksi judi daring diperkirakan mencapai Rp 190 triliun yang terbagi dalam 156 juta transaksi. Bahkan, nilai transaksi judi itu diperkirakan bisa mencapai Rp 350 triliun per tahun akibat banyaknya konten judi daring yang tidak terdeteksi.
Meningkatnya akses terhadap perjudian tidak hanya menimbulkan kerugian ekonomi, tetapi juga memunculkan banyak persoalan sosial, mulai dari terjadinya kekerasan dan pelecehan dalam rumah, utang pinjaman daring membengkak, barang-barang habis dijual dan digadai, kabur dari rumah karena dikejar penagih utang, hingga terjadinya pertengkaran dan perceraian orangtua.
Berdasarkan kelompok demografi penjudi, jumlah penjudi remaja tumbuh paling cepat. Artinya, banyak anak muda sudah memaparkan dirinya dengan berbagai persoalan gangguan psikologi sejak usia muda. Perjudian membuat banyak penjudi dan keluarganya mengalami gangguan mental, mulai dari cemas, stres, depresi, bahkan bunuh diri.
Karena itu, perjudian daring perlu ditangani serius bukan hanya dari aspek hukum semata, melainkan juga dari sisi kesehatan mental masyarakat.
Pada dasarnya, judi adalah permainan yang memacu adrenalin. Sejak remaja, banyak anak terlibat dalam perjudian dalam bentuk yang paling sederhana, yaitu taruhan. Judi model ini sering dianggap sebagai judi rekreasi, yaitu berjudi untuk bersosialisasi dan berkumpul bersama kawan.
Uang atau taruhan bukanlah tujuan karena yang mereka kejar adalah kegembiraan, perhatian, tantangan, atau upaya mengesankan orang lain. Judi rekreasi biasanya dimainkan untuk sementara waktu dan bisa diakhiri kapan saja tanpa paksaan atau tekanan tertentu.
Judi akan menjadi masalah jika seseorang berjudi tanpa kendali. Pada saat itu, judi sudah menjadi candu. Rasa senang dari kemenangan judi sebelumnya membuat hormon adrenalin terus meningkat dan hanya bisa dipenuhi dengan berjudi lagi untuk mendapatkan rasa senang yang sama. Mereka berjudi secara kompulsif dan muncul cemas saat ingin mengakhirinya.
Penjudi yang kompulsif itu akan mempertaruhkan sebagian besar uangnya, bahkan rela mengajukan pinjaman daring buat judi. Mereka berjudi untuk menambal kerugian akibat kekalahan sebelumnya dan berharap bisa memperbaiki kondisi keuangannya. Bukan lagi kegembiraan yang mereka kejar dari judi.
Sebanyak 96 persen orang dengan gangguan perjudian juga memiliki setidaknya satu gangguan jiwa lain.
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder 5th (DSM-5), 2013, menyebut orang yang kecanduan judi dan tidak bisa mengendalikan dirinya mengalami gangguan perjudian (gambling disorder). Mereka yang mengalami gangguan ini akan berjudi secara terus-menerus dan berulang serta memiliki distres atau stres negatif yang merusak.
Orang dengan gangguan perjudian juga memiliki kondisi otak yang berbeda dengan orang yang tidak mengalami judi patologis. David J Nutt dan rekan di Nature Reviews Neuroscience, 15 April 2015, menyebut, kecanduan judi tidak hanya dipengaruhi oleh hormon dopamin, tetapi juga variasi jumlah hormon dan tingkat keaktifan bagian tertentu di otak yang terkait dengan proses pembelajaran, manajemen stres, hingga pengolahan penghargaan.
Maartje Luitjen dan rekan di JAMA Psychiatry, April 2017, menyebut, orang dengan gangguan judi dan gangguan penyalahgunaan zat aditif menunjukkan aktivitas otak di bagian ventral striatum yang lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak mengalami gangguan saat mengantisipasi imbalan uang. Ventral striatum adalah bagian otak yang berkontribusi pada perilaku impulsif.
Mereka yang mengalami gangguan perjudian juga memiliki volume amigdala dan hipokampus yang lebih kecil. Kedua bagian otak ini yang meregulasi emosi dan stres. Selain itu, pada remaja laki-laki yang kecanduan judi, otak bagian depan yang mengatur logika, nilai, dan pengambilan keputusan yang disebut korteks prefrontal menjadi lebih lambat matang. Konsekuensinya, anak laki-laki menjadi lebih rentan untuk mengalami gangguan perjudian.
American Gaming Association (AGA), seperti ditulis di Monitor on Psychology yang dikelola Asosiasi Psikologi Amerika (APA), 1 Juli 2023, memperkirakan, 90 persen penjudi bisa berjudi secara bertanggung jawab. Namun, sebagian penjudi akan mengembangkan gangguan perjudian yang membuat mereka harus berjuang lebih keras agar terlepas dari judi.
Studi lain yang dilakukan Marc N Potenza dan rekan di Nature Reviews Disease Primers, 25 Juli 2019, menemukan, 0,4 persen-2 persen orang yang berjudi akan mengalami gangguan perjudian. Selain itu, 4 persen orang yang dirawat karena penggunaan narkoba, 7 persen orang yang dirawat akibat gangguan psikiatri, dan 7 persen orang dengan penyakit Parkinson juga mengalami gangguan perjudian.
Sebanyak 96 persen orang dengan gangguan perjudian juga memiliki setidaknya satu gangguan jiwa lain. Gangguan jiwa yang umum diderita orang dengan gangguan judi itu, antara lain, gangguan penggunaan zat aditif, gangguan kontrol impuls, gangguan suasana hati, hingga gangguan kecemasan umum. Karena itu, agar bisa terlepas dari gangguan judi dan gangguan jiwa lain yang menyertainya, penjudi butuh diterapi.
Meski jumlah mereka yang mengalami gangguan judi terus meningkat seiring mudah dan meluasnya akses judi daring, penanganan judi masih terbatas pada aspek hukum dan penanganan dampak sosial yang ditimbulkan, Upaya untuk membangun sistem terapi orang-orang yang kecanduan judi belum terbangun di banyak negara.
Meski di Indonesia dan Amerika Serikat sudah memiliki rumah sakit ketergantungan obat atau pusat rehabilitasi untuk mengatasi kecanduan alkohol, kedua negara itu belum memiliki pusat rehabilitasi untuk menangani gangguan perjudian. Dibandingkan gangguan lain, gangguan perjudian memang tidak menunjukkan persoalan fisik yang mengganggu sehingga gangguan perjudian belum mendapat perhatian serius.
Sejumlah psikolog klinis di Indonesia sebenarnya sudah menangani klien yang kecanduan judi. Artinya, psikolog klinis lain di sejumlah wilayah Indonesia juga bisa diberdayakan untuk mengatasi masalah ini. Psikolog yang ada di puskesmas, khususnya di DKI Jakarta dan DI Yogyakarta yang memang sudah memiliki psikolog di setiap puskesmas, bisa dimanfaatkan untuk melakukan deteksi dini dan pencegahan agar masyarakat lebih peduli dengan isu perjudian. Jika orang yang diterapi membutuhkan penanganan lebih lanjut, mereka bisa dirujuk ke rumah sakit yang memiliki layanan psikiatri.
Saat ini, terapi perilaku kognitif (CBT) menjadi terapi yang paling umum untuk mengatasi gangguan judi. Terapi ini dilakukan untuk mengubah pola pikir penjudi melalui kelompok swaterapi.
Lia Nower dari Pusat Studi Perjudian di Universitas Rutgers, New Brunswick, AS dalam jurnal Addiction, 17 November 2021, mengembangkan terapi untuk gangguan perjudian dalam tiga kelompok berbeda. Peserta terapi akan dipisah berdasarkan motivasi atau alasan mereka berjudi, yaitu berjudi karena mengejar kemenangan, berjudi karena punya trauma, pelecehan, dan pengabaian di masa lalu, serta berjudi karena pelarian dari stres, depresi, dan kecemasan.
Sementara terapi menggunakan obat-obatan bisa dilakukan dengan menggunakan obat jenis selective seretonin reuptake inhibitors (SSRIs) yang bisa mengurangi gejala-gejala depresi yang muncul. Obat ini tidak untuk mengatasi gangguan perjudian yang terjadi, tetapi menangani depresi yang muncul.
Selain itu, karena sebagian besar pencandu judi berasal dari kelompok dengan pendapatan menengah bawah, maka perlu dibangun sistem terapi gangguan judi yang mudah dan bisa dijangkau siapa pun. Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) memang sudah menanggung biaya sejumlah penyakit jiwa berdasarkan indikasi medis.
Namun, tekanan layanan kesehatan jiwa yang ditanggung Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan itu terfokus pada tindakan kuratif dan rehabilitasi. Beberapa tindakan pendukung dan terapi terkait sejumlah penyakit kejiwaan belum ditanggung.
Perjudian perlu diatasi di semua lini. Penegakan aturan hukum semata tidak akan memberikan hasil optimal sepanjang dorongan untuk berjudi yang dimiliki orang dengan gangguan perjudian tidak diatasi. Jika gangguan judi ditangani secara menyeluruh, dampak judi pada kehidupan ekonomi dan kesejahteraan sosial masyarakat dapat ditekan seoptimal mungkin. (c-hu)
Sumber: https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/10/24/judi-dan-kesehatan-mental-masyarakat-kita
Judi dan Kesehatan Mental Masyarakat Kita
Typography
- Smaller Small Medium Big Bigger
- Default Helvetica Segoe Georgia Times
- Reading Mode