Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA*
PEMILU 2024 hampir memiliki satu pasangan calon presiden dan wakil presiden yang pasti, yaitu: Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar. Paslon Anies-Imin (AMIN) ini didukung oleh koalisi partai Nasdem, PKS, dan PKB. Namun, banyak juga isu-isu politik yang mulai disulut untuk menjegal langkah mulus Cak Imin, salah satunya mengenai "kudeta Gus Dur". Cak Imin dianggap mengkudeta Gus Dur pada tahun 2008 setelah mengadakan Musyawarah Luar Biasa (MLB) di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta.
Para pengusung isu "kudeta Gus Dur" ini umumnya menyampaikan narasi-narasi penuh dendam lama. Misalnya, selama PKB dipimpin oleh Muhaimin, maka mereka tidak akan pernah mendukung PKB. Atau, narasi yang berbunyi: "kami tidak akan pernah mendukung calon siapapun selama bergandengan dengan Muhaimin." Ada banyak lagi gaya dan konten narasi ketidaksukaan secara pribadi terhadap Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PKB. Semua narasi ketidaksukaan itu dikarenakan Cak Imin dianggap mengkudeta Gus Dur.
Isu politis semacam ini tidak logis, bahkan condong emosional; menebar kebencian, memperkeruh permusuhan. Padahal, banyak publik berpikir dengan kepala dingin. Misalnya, jika mengkudeta Gus Dur dari posisi partai politik seperti PKB adalah "dosa besar", maka mengapa mereka tidak pernah bersuara tentang mengkudeta Gus Dur dari jabatan Presiden RI tahun 2001? Apakah jabatan di partai politik lebih penting dari jabatan presiden? Apakah mereka hanya berambisi menguasai PKB, tidak berambisi menguasai posisi kepresidenan?
Salah satu tokoh yang paling sering mengkampanyekan isu politik "mengkudeta Gus Dur" adalah Zannuba Ariffah Chafsoh yang dikenal dengan panggilan Yenny Wahid. Cak Imin di mata Yenny Wahid tampak sebagai seorang pendosa besar karena telah mengkudeta Gus Dur dari posisi Ketua Umum Dewan Syuro PKB. Namun, kritik Yenny Wahid terhadap Cak Imin tidak diimbangi kritik terhadap partai politik yang mengkudeta Gus Dur dari jabatan Presiden RI, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Semua publik sudah terlanjur tahu bahwa PDIP adalah salah satu biang kerok kejatuhan Gus Dur pada tahun 2001. Naifnya, Yenny Wahid yang keras mengkritik PKB tampak "mengemis-ngemis" perhatian dari PDIP, dengan mengatakan "siap dipinang menjadi cawapres." Akhirnya, Ketua DPP PDIP Puan Maharani pun harus meresponnya dengan sedikit terpaksa. Puan mengatakan, "ya tanya Mbak Yenny, kami terbuka untuk masuknya nama-nama dalam list yang nantinya akan menjadi bakal cawapres."
PDIP atau Puan Maharani sejatinya hanya menghormati nama besar Yenny Wahid. Ketika Yenny mengatakan siap dipinang oleh PDIP untuk menjadi cawapres Ganjar Pranowo, maka Puan Maharani hanya bilang bahwa PDIP terbuka bagi semua orang tanpa kecuali, termasuk Yenny Wahid. Artinya, di mata publik, nasib politik Yenny Wahid sangat miris, seperti salah seorang tokoh reformasi yang terlibat dalam penjatuhan Gus Dur, yang harus wara-wiri mencari posisi yang kuat.
Artinya, jika Yenny Wahid tetap kritis terhadap Cak Imin, menuduh Cak Imin telah mengkudeta Gus Dur, namun Yenny Wahid setuju menjadi cawapres bagi Ganjar Pranowo dan PDIP, maka itu sama saja dengan pepatah "menjilat ludah sendiri." Mati-matian mengutuk Cak Imin mengkudeta Gus Dur, tetapi di dalam hati sangat berharap menjadi Cawapres Ganjar Pranowo dari PDIP, yang dulu menjatuhkan Gus Dur dari jabatan Presiden RI. Akal orang awam sulit memahami alur licin cara berpikir politisi semacam ini.
Gus Dur juga Mengkudeta
Jika Yenny Wahid dan kubunya masih memelihara kebencian politik, maka betapa akan banyak orang-orang yang akan menjadi musuhnya. Perlu diketahui bahwa politisi yang berseberangan dengan Gus Dur bukan hanya Cak Imin. Bahkan, ketika banyak orang berseberangan dengan Gus Dur, Cak Imin malah berada di posisi dan membela Gus Dur. Pada tahun 2005, misalnya, sidang pengadilan gagal mendamaikan kubu Alwi Shihab dan Gus Dur. Alwi Shihab menggugat kubu Gus Dur sebesar Rp. 1 miliar lebih.
Pasalnya, menurut Tony Suhartono, uang satu miliar itu sebagai ganti rugi pemberhentian Ali Shihab dari posisi Ketua Umum PKB. Ketika Alwi Shihab berseberangan politik dengan Gus Dur di internal PKB, maka saat itu Muhaimin Iskandar (Sekjen), Mahfud MD (Waketum), dan Arifin Junaidi (Sekretaris Dewan Syuro) berada di pihak Gus Dur. Sebab, surat keputusan nomor 01762/DPP-02/III/I.A/X/2004, tanggal 27 Oktober 2004, yang ditandatangani keempat orang itu.
Bukan hanya memberhentikan Alwi Shihab secara tidak prosedural, Gus Dur juga memberhentikan Saifullah Yusuf (Sekjen PBNU 2022-2027) dari posisi sekjen PKB saat itu. Karena juga memiliki ketidakpuasan terhadap Gus Dur, maka Saifullah Yusuf (Gus Ipul) mengajukan gugatan kepada pengadilan untuk menuntut empat orang, yaitu: Gus Dur, Alwi Shihab, Arifin Junaidi, dan Amin Said Husni.
Artinya, jika Yenny Wahid menganggap Muhaimin Iskandar sebagai orang yang bersalah karena mengkudeta Gus Dur, maka Yenny Wahid harus sadar bahwa ayahandanya yang dibanggakan juga telah mengkudeta orang-orang lain, yaitu Alwi Shihab dan Saifullah Yusuf. Jika itu terjadi, maka Yenny harusnya berterima kasih kepada Cak Imin yang telah sepihak dengan Gus Dur dalam menghadapi Alwi Shihab.
Sampai di sini, kita bisa mengatakan bahwa konflik politik di internal PKB pada tahun 2008 bukan tentang Muhaimin Iskandar yang mengkudeta Gus Dur. Sebaliknya, Gus Dur lah yang mengkudeta Muhaimin Iskandar. Ada banyak alasan: pertama, Gus Dur menjalankan politik kudeta, baik kepada Alwi Shihab, Saifullah Yusuf, dan pada gilirannya kepada Muhaimin Iskandar. Dalam kesempatan lain, penulis akan membahas bagaimana Gus Dur juga mengkudeta Matori Abdul Jalil.
Kedua, demi menyelamatkan PKB, maka Muhaimin Iskandar diperintahkan oleh kiai-kiai sepuh seperti Kiai Sahal Mahfudz dan Kiai Hasyim Muzadi untuk melawan, sebagaimana Alwi Shihab dan Saifullah Yusuf juga melawan Gus Dur. Informasi ini penulis dapatkan langsung dari Cak Imin saat sowan ke pesantren Bina Insan Mulia (Bima), Cirebon, tempo hari.
Hanya saja, belajar pada kegagalan perlawanan Alwi Shihab dan Saifullah Yusuf terhadap Gus Dur, maka Cak Imin tidak mau mengulangi kesalahan perlawanan pendahulunya. Cak Imin memilih untuk membentuk MLB PKB di Ancol, dan segera menempuh jalur hukum di pengadilan. Akhirnya, Cak Imin menang. Sedangkan Alwi Shihab dan Saifullah Yusuf tidak menghasilkan banyak perubahan pada organisasi PKB.
Terlepas dari semua itu, dunia politik adalah dunianya kudeta-mengkudeta. Jika anda mengkudeta orang lain, maka tunggu giliran anda dikudeta oleh orang lain. Ini yang dialami Gus Dur. (*)
) Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.