Oleh Husaini; Wakil Ketua DPC PKB Pati, Jawa Tengah.
Dalam hal apapun, menciptakan ruang partisipasi aktif kaum muda adalah keniscayaan. Hal ini penting agar keberlangsungan aneka sektor dalam kehidupan terutama kehidupan berbangsa dan bernegara ini berjalan sesuai dinamika jaman. Hal itu juga yang menjadi kemutlakan dalam bidang politik.
Kaum muda dengan usia 40 tahun ke bawah, mempunyai kuasa yang tinggi untuk terlibat aktif di panggung politik. Mereka adalah kelompok pemilih terbesar di Indonesia saat ini. Keterlibatan kaum muda itu memerlukan ruang berpolitik yang adil dan transparan.
Besarnya jumlah pemilih muda ini terlihat dari rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (2/7/2023). Ada 204,8 juta pemilih yang akan berpartisipasi dalam Pemilihan Umum 2024 dengan porsi 56 persen berasal dari pemilih muda. Rincinya, dari generasi Milenial (25-39 tahun) sebesar 68,8 juta orang (33,6 persen) dan generasi Z (17-24 tahun) mencapai 46,8 juta pemilih (22,9 persen).
Kondisi itu secara langsung menempatkan pemilih muda sebagai penentu pada Pemilu 2024. Dengan nilai tawar yang dimilikinya, sudah sepatutnya eksistensi kaum muda tak lagi hanya dipandang sebagai pasar pemilih atau hanya dijadikan pemanis untuk menarik dukungan suara.
Namun, hingga hari ini kiprah kaum muda dalam berpolitik belum mendapatkan ruang luas sehingga regenerasi politik pun tersendat.
Hambatan itu tidak terlepas dari pusaran oligarki, baik di tingkatan lokal maupun nasional.
Masih minimnya lorong regenerasi politik ini juga tergambar dari pengukuran yang dilakukan Economist Intelligence Unit Democracy Index 2022. Pengukuran indeks menempatkan Indonesia pada urutan ke 101 dari 147 negara dalam hal regenerasi politik. Rata-rata usia anggota parlemen di Indonesia dari hasil kajian tersebut ialah 51,6 tahun.
Sejalan dengan itu, data usia anggota DPR terpilih di atas 50 tahun terus menunjukkan tren meningkat. Pada periode 2009-2014, proporsi usia anggota legislatif di atas 50 tahun sebanyak 40 persen, masih seimbang dengan para anggota dewan yang berusia 40 tahun.
Memasuki masa jabatan 2014-2019, anggota legislatif terpilih yang berusia di atas 50 tahun semakin meningkat menjadi 45,7 persen. Selanjutnya pada periode 2019-2024, kelompok kalangan senior yang duduk di Senayan tersebut terus bertambah dengan proporsi tak kurang dari 55 persen.
Sempitnya ruang bagi para kaum muda ini pun tergambar jelas dari lanskap pencalonan anggota legislatif. Berdasarkan data calon anggota legislatif (caleg) tingkat nasional yang dibuka ke publik pada 2014, hanya sekitar 24,8 persen yang diisi oleh kalangan berusia maksimal 40 tahun. Selanjutnya pada Pemilu 2019, proporsi politisi muda yang ikut maju dalam pemilihan DPR masih bergeming di kisaran seperempat bagian saja.
Sejatinya, wadah berpolitik bagi kaum muda telah disediakan, salah satunya terwujud dalam regulasi kontestasi politik. Aturan minimum usia calon anggota legislatif, misalnya, minimal 21 tahun (UU Nomor 7/2017). Begitu pun dengan umur pencalonan gubernur minimal 30 tahun serta bupati dan wali kota sekurang-kurangnya 25 tahun (UU Nomor 10/2016).
Namun, tak dapat dimungkiri, akses bagi kaum muda masih terbatas. Selain privilege akses, dua faktor lain ialah kematangan berpolitik dan manajemen kaderisasi partai.
Untuk memperlebar ruang politik bagi kaum muda, dibutuhkan dukungan dari kalangan elite politik, baik yang berada di pemerintahan, legislatif, maupun partai politik.
Ada sejumlah aspek prioritas tindakan yang dapat diambil untuk meningkatkan kontribusi berpolitik kaum muda.
Diantaranya ialah perlunya mendorong kehendak atau political will dari kalangan elite untuk dapat lebih berpihak pada kaum muda. Dukungan politik ini berupa komitmen nyata yang dituangkan dalam regulasi dan program nyata.
Aspek selanjutnya yang juga tak kalah penting untuk dilakukan ialah memastikan proses kaderisasi partai politik berjalan semestinya.
Wallahu'alam!