19
Thu, Sep

Bahagia Menjadi Diri Sendiri

Inspirasi
Typography
  • Smaller Small Medium Big Bigger
  • Default Helvetica Segoe Georgia Times

Semua orang, siapa pun dia, apa pun pekerjaannya, bagaimanapun rupanya, miskin atau kaya, sedikit atau banyak pengikutnya di medsos, semuanya bisa bahagia. Bahagia tak perlu dicari karena ada dalam tiap langkah kita.

Sejatinya, bahagia tidak perlu dicari karena kebahagiaan ada dalam setiap langkah kita. Bahagia adalah untuk diri sendiri sehingga tidak membutuhkan pengakuan orang lain. Tidak membanding-bandingkan, nyaman dengan apa yang dimiliki, menerima apa pun kondisi yang dihadapi, dan tidak terlalu peduli dengan omongan orang adalah kunci bahagia.

Sejak meninggalkan berbagai pekerjaan lamanya, mulai dari dosen hingga koordinator proyek konstruksi, Anila (49) memilih fokus menjadi penulis, penerjemah, penyunting, hingga korektor. Pendapatan yang dia peroleh dari pekerjaan barunya hanya sepersepuluh dari gaji pekerjaan lamanya. Namun, di pekerjaan barunya itulah Anila merasa lebih bahagia.

”Semua (pekerjaan baru) kulakukan dengan bahagia, all out, tanpa terlalu memperhitungkan materi. Benar-benar fokus agar naskah atau buku yang kukerjakan selesai mendekati hasil yang diharapkan. Honor yang kuterima kuanggap sebagai bonus atas kesenangan yang kudapatkan,” tutur Anila, perempuan asal Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (8/7/2023).

Anila adalah lulusan salah satu perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Sejak SMA, ia dituntut menekuni sains hingga akhirnya kuliah di bidang sains. Segala kegemarannya sejak kecil, mulai membaca buku, menulis buku harian, menulis puisi, hingga mengetik berbagai cerita harus dia tinggalkan. Beruntung, ia masih membaca banyak novel sastra.

Di tengah kesibukannya menjalani pekerjaan terdahulunya selama satu dekade, Anila mulai menerima pekerjaan penerjemahan. Nyatanya, dia justru lebih menikmati pekerjaan sambilannya itu. Akhirnya, sejak 12 tahun lalu, dia memilih fokus menjadi penulis.

Ajaibnya, hingga kini dia belum pernah sakit parah gara-gara pekerjaan. Padahal, dulu obat mag menjadi teman sejati saat bekerja.

”Pernah ada salah satu saudara yang membandingkan penghasilan pekerjaan sekarang dengan pekerjaan lama yang jauh lebih besar. Tapi aku enggak terlalu memperhatikan komentar orang terkait renjanaku sepanjang aku suka, senang, nyaman dan tidak merugikan orang di sekitarku,” ujarnya.

Keluarga pun tidak pernah mempermasalahkan pekerjaan barunya karena Anila memang tetap terlihat sibuk. Namun, tanggapan dari keponakan, ”wah, bude terkenal,” atau komentar teman-teman sekolah dulu yang mengapresiasi tulisan atau hasil suntingannya membuatnya makin yakin dengan pilihannya.

Meski demikian, sesekali Anila juga memikirkan capaian materi yang diperolehnya saat ini. Ia jelas tidak seperti orang lain di umur yang sama yang telah memiliki rumah, mobil, atau berencana naik haji. Namun, akhirnya dia sadar bahwa dia tak memiliki kemampuan untuk merawat berbagai kepemilikan itu. Selain itu, semakin lama memikirkan berbagai kepemilikan itu semakin membuatnya overthinking, berpikir berlebihan.

”Dengan ketiadaan materi itu, apakah aku akan merepotkan orang lain atau tidak di usia lanjut, aku belum punya jawabannya,” ujarnya.

Lain Anila lain pula Binar (20), warga Tangerang Selatan, Banten, mahasiswa sebuah perguruan tinggi ternama di Depok, Jawa Barat. Saat akan masuk perguruan tinggi, ayahnya memasuki usia pensiun, kena serangan stroke, hingga kakaknya yang pertama harus kehilangan pekerjaannya akibat pandemi Covid-19 pada 2020.

Situasi itu membuatnya sadar bahwa pilihannya untuk memilih universitas menjadi sangat terbatas. Ia hanya bisa masuk ke perguruan tinggi negeri dan di kelas reguler. Keuangan keluarga yang sedang tidak baik-baik saja membuatnya tidak mungkin untuk kuliah di universitas swasta atau di kelas internasional di perguruan tinggi negeri.

Di tengah keterbatasan itu, ia tetap bersyukur karena bisa diterima di universitas negeri meski pada jurusan pilihan keduanya. Bahkan, dia mendapat potongan uang kuliah sekitar 70 persen dibandingkan biaya yang dibayar mahasiswa lainnya. Selain itu, dia justru merasa cocok dengan jurusan pilihan keduanya meski kesempatan magang atau bekerja menjadi lebih terbatas.

Semua tantangan dan keterbatasan yang dialami membuat Binar tetap merasa bersyukur dan bahagia dengan keadaannya sekarang. Namun, saat mulai membandingkan dengan kehidupan teman-temannya yang jauh lebih beruntung, rasa iri dan tidak bahagia itu muncul. Ketidakbahagiaan itu muncul karena dia merasa harus berjuang lebih keras untuk mencoba sesuatu dibandingkan teman-temannya yang begitu mudah mencoba hal-hal baru yang disukai.

”Ya... perasaan (iri) itu masih normal sih dan semua orang juga memiliki battle (perjuangan) masing-masing. Toh kalau dipikir-pikir, saya masih memiliki banyak privilege (hak istimewa) dibandingkan orang-orang lain yang jauh lebih tidak beruntung dari saya,” katanya.

Penerimaan diri

Kepala Pusat Bimbingan dan Konsultasi Psikologi, yang juga dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara Jakarta, Meiske Yunithree mengatakan, bahagia itu tidak serumit apa yang kita pikirkan. Kunci bahagia itu sederhana, yaitu nyaman dengan apa yang kita miliki dan menerima diri kita apa adanya dengan segala keadaan yang ada.

”Sifat dasar manusia itu serakah, sulit terpuaskan. Ketidakmampuan kita menerima yang ada pada diri dan tidak bisa merasa cukup dengan apa yang kita miliki adalah kunci ketidakbahagiaan,” ujarnya. Saat bisa merasa cukup dan puas, saat itulah manusia akan bahagia.

Sulitnya seseorang merasa puas dengan apa yang dimiliki atau dicapai terjadi karena mereka terlalu memedulikan omongan orang lain dan suka membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain. Padahal, saat mulai membanding-bandingkan tentang apa pun, saat itulah kita mulai tidak bahagia. Semakin sering kita membandingkan dengan orang lain, baik disengaja maupun tidak sengaja, makin sulit pula kita bahagia.

Meski demikian, menerima apa adanya itu bukan berarti manusia tidak perlu punya cita-cita. Semua orang pasti memiliki titik atau kondisi yang ingin dicapai dan mengejarnya dengan segala daya. Semua orang juga harus memiliki target dalam hidup. Namun, target adalah pencapaian, sedangkan bahagia ada di dalam hati.

”Boleh kita berusaha keras mencapai target, tetapi ingat, bukan target yang mengatur kebahagiaan kita,” ungkap Meiske.

Saat kita tidak pernah merasa cukup, tidak nrima ing pandhum (menerima ikhlas pemberian Tuhan serta sadar akan hak diri dan hak orang lain), maka manusia bisa melakukan hal-hal yang menurunkan kemanusiaan dan akal budinya. Menipu, mencuri, korupsi, menggunakan pesugihan, menelikung teman, bahkan menghilangkan nyawa manusia lain bisa dilakukan demi menguasai harta mereka.

Karena itu, siapa pun bisa bahagia. Miskin atau kaya, memiliki anggota tubuh lengkap atau mengalami disabilitas, sederhana atau mewah, tukang ojek atau pimpinan eksekutif tertinggi, wajah biasa saja atau cantik memesona, sedikit atau banyak pengikut (follower) di media sosial, semua tetap bisa bahagia.

Bersyukur

Meski demikian, hidup sering kali berjalan tidak sesuai rencana. Rintangan dan kendala bisa muncul tiba-tiba yang membuat kita harus menata ulang keinginan dan harapan serta mengatur kembali langkah dan tujuan hidup. Meski segala daya upaya sudah dilakukan sekuat tenaga, nyatanya untung tak selalu dapat diraih dan malang kadang tak dapat ditolak.

Saat roda hidup berjalan tidak sesuai rencana, rasa kecewa, sedih, marah, hingga berbagai emosi negatif lain akan muncul. ”Kecewa saat keinginan tidak tercapai meski ikhtiar sudah dilakukan adalah respons yang normal dan manusiawi, sama seperti munculnya rasa senang saat usaha kita membuahkan hasil,” kata peneliti kebahagiaan yang juga dosen Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, Diana Elfida.

Namun, munculnya emosi-emosi negatif akibat kekecewaan itu umumnya disertai stres, cemas, hingga depresi. Karena itu, peneliti syukur yang juga dosen Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Muhana Sofiati Utami, mengingatkan pentingnya mengelola berbagai emosi negatif itu agar kita tetap bisa bahagia.

”Salah satu cara mengelola emosi negatif agar bisa bahagia itu adalah dengan bersyukur,” katanya.

Syukur merupakan konstruksi kognitif, emosi dan perilaku yang muncul dari dalam diri, bukan karena paksaan dari luar. Syukur akan membantu manusia menjalani hidup secara positif, baik dengan munculnya kegembiraan, kepuasan hidup, maupun keberkahan hidup. Kebersyukuran akan membuat kita merasa tidak berkekurangan, mengakui keterlibatan pihak lain dalam kesejahteraan yang dirasakan, hingga lebih menghargai setiap kesenangan yang sederhana.

Dalam kondisi seterpuruk apa pun, kata Diana, syukur tetap bisa dilakukan jika kita yakin bahwa takdir Tuhan adalah yang terbaik dan setiap hal yang terjadi, baik atau buruk, pasti memiliki hikmah. Sikap ini akan mempermudah seseorang untuk senantiasa bersyukur. Jika sikap ini dilatih dari hal-hal yang sederhana, seseorang akan lebih mudah bersyukur saat ujian berat itu benar-benar datang.

”Sebagai orang beragama, syukur juga menjadi pengakuan atas keberadaan dan keterlibatan Tuhan dalam setiap usaha yang kita lakukan. Tuhan akan senantiasa menetapkan yang terbaik untuk kita meski itu bukan selalu yang kita inginkan,” katanya.

Dalam hidup, munculnya masalah adalah keniscayaan. Namun, kata Muhana, masalah itu bisa menguatkan atau melemahkan sangat bergantung pada bagaimana kita merespons permasalahan tersebut. Jika kita menghadapi situasi tidak menyenangkan itu secara positif, misalnya dengan bersyukur, musibah yang terjadi justru akan makin menguatkan diri.

Orang yang bersyukur cenderung melihat keseluruhan hidupnya sebagai hadiah dan keberuntungan. Kebersyukuran akan membangun suasana hati yang positif. Dampaknya, ”Mereka akan lebih mampu memproses informasi lebih efisien, menjadi lebih murah hati atau altruistis, memiliki harga diri yang lebih baik hingga ujungnya merasa bahagia,” ujarnya.

Tak perlu dikejar

Banyak orang mendefinisikan kebahagiaan dengan uang atau materi karena beranggapan jika memiliki uang bisa memenuhi kebutuhan keluarga, membeli barang yang diinginkan, hingga dapat membantu orang lain. Memang, uang tidak bisa dimungkiri bisa membuat bahagia. Namun, jangan sampai saat tidak memiliki uang akan membuat kita tidak bahagia.

”Kebahagiaan itu kita yang menilai dan menentukan, tidak perlu membanding-bandingkan dengan orang lain,” kata Meiske.

Ukuran kebahagiaan itu adalah diri sendiri, bukan berdasar pandangan, perkataan, atau apa yang dialami orang lain. Penting juga untuk tidak mudah iri dengki dengan capaian orang lain. Perilaku ”senang melihat orang lain susah dan susah melihat orang lain senang (semos sumos)” perlu dihindari.

Meski demikian, Meiske mengingatkan bahwa manusia tidak perlu mengejar kebahagiaan karena kebahagiaan bukan sesuatu yang dituju. Kebahagiaan ada dalam proses sejak awal kita melakukan sesuatu, bukan di bagian akhirnya saja. Karena itu, tidak perlu mencari kebahagiaan sampai mendapatkannya. Kebahagiaan adalah bonus atas apa yang dilakukan atau dicari.

Namun, banyak di antara kita menyangkal bahwa kebahagiaan itu sejatinya bisa diperoleh dengan cara yang paling sederhana, yaitu bersyukur atas apa yang ada. Besarnya ego membuat kita lebih sulit menerima keadaan diri, selalu iri dengan capaian orang lain, sangat memedulikan omongan orang lain, hingga membuat kita sulit menerima keadaan diri.

”Bahagia itu buah atas apa pun yang kita lakukan. Jadi, bahagia akan kita rasakan jika melakukan hal-hal positif bagi diri sehingga bahagia tidak perlu dicari atau dikejar,” kata Diana.

Selain sikap diri, banyak hal yang bisa mendukung kita untuk lebih bahagia, mulai dari memiliki teman, tidur cukup, cukup aktivitas fisik, dan beramal, hingga pola asuh orang. Dengan tidur cukup, maka emosi akan lebih terjaga. Kurang tidur membuat orang menjadi cepat marah. Dengan tubuh yang sehat, maka kesehatan mental kita akan lebih mudah diraih.

Meski semua itu mendukung, Meiske lagi-lagi mengingatkan jangan sampai hal-hal di luar emosi kita yang bisa mendukung bahagia itu justru memengaruhi kebahagiaan kita. Saat kurang tidur, meski emosi menjadi lebih mudah terpancing, tetaplah bersikap positif agar kebahagiaan sepanjang harimu tidak terpengaruh.

Demikian pula tentang parenting atau pengasuhan orangtua yang bisa memengaruhi kebahagiaan seseorang. Keluarga atau pengasuhan orangtua kita mungkin tidaklah ideal. Namun, sehancur-hancurnya keluarga kita di masa lalu, itu bukan alasan bahwa kita tidak bisa mewujudkan bahagia pada diri dan keluarga kita di masa sekarang.

”Kebahagiaan itu tentang mindset (pola pikir), apa yang kita pikirkan, dan tidak harus selalu diekspresikan. Karena itu, kebahagiaan sulit dipaksakan dari luar. Jika kita menggantungkan kebahagiaan dari hal-hal dari luar diri, bisa dipastikan kekecewaanlah yang akan kita dapatkan,” ujarnya.

Sumber: https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/07/09/bahagia-menjadi-diri-sendiri

 

Sign up via our free email subscription service to receive notifications when new information is available.