25
Mon, Nov

Indonesia dan Warisan Sistem Pertanian Dunia

Inspirasi
Typography
  • Smaller Small Medium Big Bigger
  • Default Helvetica Segoe Georgia Times

Dunia telah memiliki 74 warisan sistem pertanian dan pangan penting yang tersebar di 24 negara yang diakui FAO. Warisan itu antara lain berada di gurun pasir, kasawan rob dan banjir, dan rawa. Bagaimana dengan Indonesia?

Ditulis Oleh Hendiyo Widi

 

Pangan tak hanya urusan perut. Pangan juga bukan sekadar soal stok dan harga. Pangan mencakup pula cara orang bertahan hidup, keanekaragaman hayati, tradisi dan budaya, serta perubahan iklim.

Konsep pangan seperti itulah yang diusung Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) sejak 2002. Pada 2005, konsep pangan tersebut melahirkan Sistem Warisan Pertanian Penting Global (GIAHS). Program tersebut mengidentifikasi warisan dan jejak peradaban pertanian di dunia yang masih lestari hingga kini.

Agar dapat menjadi bagian dari GIAHS FAO, sistem pertanian atau pangan sebuah negara harus memiliki lima kriteria. Kelima kriteria itu adalah menopang mata pencarian dan ketahanan pangan; memiliki keanekaragaman hayati; berbasis budaya, pengetahuan lokal, atau tradisi; memiliki sistem nilai dan organisasi sosial; serta berada dalam sebuah kawasan bentang alam.

Di dalamnya tercakup pula praktik-praktik pertanian berkelanjutan dan menjaga sumber-sumber air. Selain itu, disertai pula dengan pengembangan inovasi unik berbasis kearifan lokal dan siasat menghadapi dampak perubahan iklim.

Dengan kata lain, GIAHS merupakan upaya dunia menyelamatkan warisan sistem pertanian dan pangan yang telah dilakukan para petani sejak zaman dahulu. Praktik-praktik itu terus berlanjut bahkan dikembangkan hingga masa kini untuk menunjukkan daya tahan keberlanjutan pangan dan mata pencarian.

Di Mesir dan Algeria terdapat warisan sistem pertanian dunia berbasis oasis gurun pasir. Oasis Siwa di Mesir, misalnya, menjadi gambaran kecerdikan petani menyesuaikan pertanian dengan kondisi iklim yang sangat keras yang bergantung pada sumber air yang langka.

Oasis tersebut menyediakan cara efektif menanam tanaman pangan dengan sistem akuifer batu pasir, beternak, dan melestarikan flora-fauna liar. Beberapa komoditas pangan yang dihasilkan berupa gandum, jelai, kacang, kurma, dan zaitun.

Bangladesh memiliki sistem pertanian terapung di sejumlah daerah rawan rob dan banjir. Petani di daerah-daerah itu, terutama di Distrik Pirojpur, tidak lagi menanam sayur dan buah di daratan, tetapi di rakit-rakit terapung yang terbuat dari anyaman enceng gondok. Lahan terapung itu telah melahirkan bahan pangan, seperti mentimun, lobak, labu, pepaya, dan tomat.

India memiliki sistem pertanian lahan basah Kuttanad yang dibuat dengan cara mengeringkan rawa dan memanfaatkan delta di perairan payau. Lanskap pertanian itu terbagi dalam tiga struktur. Pertama, lahan basah yang digunakan untuk aktivitas padi dan penangkapan ikan. Kedua, lahan yang digunakan untuk perkebunan kelapa dan umbi-umbian. Ketiga, area perairan yang digunakan sebagai perikanan darat dan kerang.

Ketiga contoh warisan pertanian itu merupakan bagian dari 74 area pertanian di 24 negara yang telah tercatat sebagai GIAHS FAO. Dari jumlah area itu, 24 di antaranya yang berada di 12 negara baru saja ditetapkan FAO sebagai GIAHS pada 22 Mei 2023 di Roma, Italia.

China merupakan negara yang memiliki GIAHS terbanyak, yaitu 19 warisan. Kemudian disusul Jepang dengan 13 warisan, serta Spanyol dan Korea Selatan masing-masing 5 warisan. Di kancah Asia Tenggara, baru Thailand dan Filipina yang masuk daftar GIAHS FAO. Thailand memiliki warisan ekosistem agro pengembalaan kerbau, sedangkan Filipina sawah terasering.

Warisan pertanian RI

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Meskipun sebenarnya memiliki banyak warisan pertanian dan pangan, Indonesia belum tercatat dalam daftar GIAHS FAO. Padahal, sama seperti China, Jepang, dan Filipina, Indonesia memiliki sawah terasering di sejumlah daerah, termasuk di Tabanan dan Ubud, Bali.

Sama juga dengan Thailand, Indonesia memiliki kawasan-kawasan penggembalaan kerbau rawa (Bubalus bubalis carabanesis) di sejumlah kawasan rawa gambut di Sumatara dan Kalimantan. Senapas dengan Jepang dan China, Indonesia juga memiliki daerah-daerah penghasil teh dan pertanian mina padi.

Indonesia juga memiliki sistem pertanian unik di Pulau Kolepon, Merauke, Papua. Suku Marind di pulau tersebut membuat areal perkebunan dengan cara membuat gundukan-gundukan menggunakan lumpur hitam di perairan dangkal.

Mereka juga membangun parit-parit kecil penampung air untuk menjaga kelembaban tanah. Di lahan yang rendah, mereka menanam keladi dan kava, sedangkan di lahan yang lebih tinggi ditanami ubi jalar. Ubi jalar tersebut merupakan makanan pokok Suku Marind.

Pada 2012, FAO juga pernah menyambangi Indonesia untuk menginisiasi GIAHS. Pada 2013, Indonesia mulai menjajaki lima daerah yang berpotensi menjadi GIAHS. Kelima daerah itu adalah Karangasem di Bali, Kulonprogo di DI Yogyakarta, Samarinda di Kalimantan Timur, Lampung, dan Makassar. Namun, hingga satu dekade ini kabar GIAHS Indonesia nyaris tak terdengar.

Meski belum terdaftar di GIAHS FAO, lembaga lain Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengakui salah satu sistem pengairan pertanian di Indonesia sebagai warisan budaya dunia. Pada 29 Juni 2012, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) menetapkan subak, sistem pengairan pertanian di Bali, sebagai warisan budaya dunia.

Hal itu cukup melegakan kendati sebenarnya potensi warisan sistem pertanian dan pangan di Indonesia dapat didorong menjadi GIAHS FAO. Upaya tersebut juga penting dilakukan di tengah rutinitas tahunan Indonesia menjaga stabilitas stok dan harga pangan, serta program pengadaan cadangan pangan pemerintah.

Di sisi lain, Indonesia dapat belajar dari warisan sistem pertanian negara lain yang memiliki karakteristik yang kurang lebih sama dengan pertanian dan pola bencana di Nusantara. Untuk mengatasi hilangnya lahan pertanian di daerah rawan rob dan banjir, misalnya, Indonesia bisa belajar dari Bangladesh.

Sebenarnya, Indonesia pernah mencoba membudidayakan padi apung di lahan pasang surut di Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Hulu Sungai Selatan di Kalimantan Selatan, serta Palembang, Sumatera Selatan. Di Kalimantan Selatan, uji coba penanaman padi apung varietas lokal Banjar bisa menghasilkan 9 ton per hektar.

Langkah ini perlu terus dilanjutkan bahkan diperluas ke daerah-daerah yang memiliki karakter geografis yang sama. Bebarengan dengan itu, kearifan lokal sistem pertanian dan pangan masyarakat di berbagai daerah di Indonesia jangan sampai ditinggalkan, lantaran berpotensi menjadi kekayaan peradaban pertanian dan pangan, serta GIAHS FAO.

 Dipublikasikan pertama kali di Kompas.id, 25 Mei 2023 | Dicopypaste oleh Clakclik.com untuk kepentingan edukasi masyarakat

Sign up via our free email subscription service to receive notifications when new information is available.