Krisis pangan global mengajarkan kepada kita untuk memperkuat kedaulatan pangan. Tidak banyak pilihan agar negara bisa bebas dari tekanan harga pangan.
Editorial | Clakclik.com | 13 Oktober 2022
Komoditas yang murni harus diimpor, yaitu gandum, ternyata telah menempati 28 persen dari proporsi pangan nasional. Ketika dunia menghadapi krisis pangan karena dua pengekspor utama gandum berperang, yaitu Ukraina dan Rusia, Indonesia harus menjadikannya sebagai momentum untuk kembali ke ragam sumber pangan lokal.Gandum menempati posisi kedua setelah jagung dan setingkat di atas beras sebagai sumber pangan dari biji-bijian.
Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO), produksi jagung dunia pada 2021-2022 diperkirakan 1.192 juta ton, gandum 776,7 juta ton, dan beras 519 juta ton. Ketiga biji-bijian tersebut menempati sekitar 89 persen dari total produksi pangan dunia
Bertahun-tahun kita mendengungkan konsumsi pangan lokal, tetapi urusan ini tak pernah berujung pada aksi nyata dalam jangka panjang. Kampanye pangan lokal masih sekadar menjadi slogan.
Kini saatnya membuat ajakan memproduksi dan mengonsumsi pangan lokal menjadi riil. Keterpepetan karena krisis pangan yang ditandai dengan lonjakan harga pangan sudah selayaknya melecut semua pihak untuk melirik komoditas pangan setempat.
Ubi jalar hasil panen di pekarangan rumah satu keluarga di Desa Pelemgede, Kec. Pucakwangi, Kab. Pati, Jateng beberapa waktu lalu / Clakclik.com
Kita menghargai sejumlah peneliti yang terus mencari dan juga mengembangkan komoditas pangan lokal. Beberapa perusahaan sebenarnya juga pernah menguji coba penanaman sejumlah sumber pangan lokal meski ada yang tidak berlanjut.
Masalah yang muncul mulai dari pasar yang belum mudah menerima pangan lokal, produktivitas tanaman yang masih rendah, lahan yang kurang memadai, hingga masalah pengolahan pangan lokal menjadi menu sehari-hari. Ujung dari semua ini adalah masalah bisnis. Pengusaha pasti akan masuk ke industri pangan lokal ketika hitungan-hitungan bisnis masuk.
Oleh karena itu, persoalan pangan lokal harus digarap dari hulu hingga hilir. Tidak bisa hanya urusan produksi semata. Persoalan dengan selera dan menu perlu diselesaikan oleh ahli-ahli kulinologi. Jika tidak, bakal muncul tren sesaat untuk komoditas tertentu, namun kemudian mereka yang terlibat tidak mendapatkan keuntungan. Usaha pengembangan pangan lokal seperti ini tidak lestari. Petani bisa terdisinsentif dan tidak mau melanjutkan usaha tani.
Krisis pangan kali ini seharusnya mempercerpat kolaborasi semua pihak untuk menghadirkan pangan lokal. Tentu tidak bisa dalam waktu singkat, tetapi tekanan krisis pangan kali ini perlu disikapi semua pihak secepatnya agar tekanan harga pangan tidak terlalu dalam. Pengembangan skala rumah tangga bisa dimulai. Lebih dari mengembangkan pangan lokal dalam skala bisnis, kampanye menghadapi krisis pangan memberi kesadaran perlunya kedaulatan pangan.