Saat sebagian negara mulai melonggarkan kewajiban menggunakan masker di tempat umum, Indonesia justru sedang bertarung dengan datangnya gelombang kedua pandemi Covid-19. Meski korban terus bertambah dan cerita-cerita kengerian akibat paparan virus korona penyebab Covid-19 menyebar luas di berbagai media dan grup percakapan, masih banyak warga menyangkal korona.
Kabar penuhnya ruang isolasi pasien Covid-19 di rumah sakit, antrean pasien mengular hingga pelataran instalasi gawat darurat, ambulans yang hilir mudik membawa pasien ke tempat isolasi, hingga kesulitan pemakaman sebagian korban korona tak juga membuat sebagian orang sadar bahwa Covid-19 adalah nyata.
Penyangkalan terus dilakukan dengan berbagai cara dan alasan. Banyak teori konspirasi diajukan dan diyakini. Pendapat ahli terus disanggah, sedangkan omongan orang yang tidak kompeten terhadap persoalan kesehatan justru diagungkan.
Sebagian orang juga membangun narasi bahwa hidup dan mati ada di tangan Tuhan, tetapi mereka tidak mau berikhtiar menjaga kehidupan yang juga diperintahkan Tuhan.
Berbagai anjuran pemerintah demi mengendalikan penyebaran Covid-19 pun terus ditentang dan dengan egois mengabaikan protokol kesehatan.
Memang ada kegagapan pemerintah dalam menangani pandemi. Pola komunikasi pejabat berwenang pun seringkali justru menimbulkan blunder. Teladan dari pemimpin pemerintahan dari pusat sampai daerah pun sangat minim, bahkan tak jarang mereka justru mencontohkan perilaku yang melanggar protokol kesehatan.
Di luar persoalan penanganan pandemi yang tambal sulam, penyangkalan terhadap Covid-19 menurut Mark Whitmore, psikolog dari Universitas Negeri Kent, Ohio, Amerika Serikat kepada CNN, 16 Agustus 2020, adalah cara termudah untuk menghindarkan diri dari cemas.
Namun, seperti ditulis Adrian Bardon, profesor filsafat dari Universitas Wake Forest, AS di The Conversation, 25 Juni 2020, penyangkalan itu tidak bersumber dari ketidaktahuan. Mereka yang menolak soal korona juga bukanlah orang yang tidak bisa berpikir rasional atau menalar karena banyak di antara mereka merupakan kaum terpelajar. Penolakan atas isu korona juga tidak dipengaruhi oleh pilihan politik seseorang.
Proses tak sadar
Penyangkalan sejatinya merupakan hal biasa. Semua orang pernah melakukan penyangkalan terhadap apa pun dalam hidupnya meski dengan derajat yang berbeda. Sikap menolak kenyataan atau fakta obyektif itu sejatinya merupakan proses tak sadar manusia untuk melindungi pikiran dan perasaannya dari rasa tidak nyaman dan kecemasan.
Karena itu, penyangkalan tidak selalu buruk. Dalam terapi kesehatan mental, seperti dikutip dari Psychology Today, penyangkalan terkadang menjadi bagian dari proses terapi kesehatan mental agar bisa menerima kebenaran yang sulit dihadapi. Namun, proses terapi itu dilakukan dalam lingkup aman, bertahap, dan dalam pantauan profesional hingga keyakinan seseorang bisa diubah menjadi mekanisme koping (penyelesaian masalah secara sadar) yang lebih sehat dan mampu menerima keadaan.
Whitmore menambahkan dalam jangka pendek, penyangkalan memberikan waktu bagi individu untuk menyesuaikan diri dengan situasi yang terjadi. Namun dalam jangka panjang, penyangkalan justru bisa membahayakan diri dan orang lain. Penyangkalan juga tidak membantu seseorang beradaptasi dengan mengambil tindakan pencegahan terukur yang diperlukan hingga mereka menjadi lebih mudah terpapar ancaman.
Di sisi lain, keputusan seseorang terkait gaya hidup dan sikapnya dalam menjaga kesehatan, khususnya menjalankan protokol kesehatan demi mencegah penyebaran korona, menurut psikolog klinis dan dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Adityawarman Menaldi sebagaimana dikutip dari Kompas (25/6/2020), sangat bergantung pada tingkat kerentanan, keparahan, keuntungan, dan hambatan yang dirasakan seseorang pada Covid-19.
Sebagian orang abai dengan protokol kesehatan karena merasa ancaman atau kerentanan mereka terhadap korona masih jauh. Mereka merasa memiliki daya tahan tubuh yang baik karena masih muda atau yakin lingkungan sekitar mereka tidak terpapar korona.
Pandangan itu biasanya berubah jika mereka atau ada keluarga mereka yang mengalami kesusahan atau meninggal dunia akibat terpapar korona. Namun, kesadaran itu tentu sudah terlambat. Bukankah manusia memiliki akal yang bisa digunakan untuk terus belajar dan mengamati sekitar hingga tidak perlu mengalami penderitaan seperti yang dialami orang lain?
Meski demikian, penyangkalan tetap bisa diatasi. Michele Wucker, penulis buku 'The Gray Rhino' dalam seri tulisan 'Around My Mind' di Linkedln, 25 Maret 2020, mengingatkan, karena penyangkalan memiliki dimensi logis dan emosional, maka penyelesaiannya pun harus menyentuh dua dimensi tersebut, yaitu akal pikiran dan hati nurani mereka.
Untuk menghentikan penyangkalan dan mengakui keberadaan Covid-19 melalui proses menalar bukan persoalan gampang, apalagi bagi sebagian besar masyarakat kita yang tak terbiasa berpikir kritis. Bahkan, proses melogika seringkali harus menghadapi hambatan akibat adanya bias kognitif yang membuat manusia cenderung hanya meyakini informasi yang dia inginkan serta mengabaikan fakta-fakta obyektif lain yang dia tak yakini kebenarannya.
Untuk itu, komunikasi sains tentang korona kepada publik perlu dilakukan lebih eketif. Menurut komunikator sains JV Chamary di Forbes, 31 Mei 2021, meski sains itu sulit, proses pemahamannya akan menjadi lebih mudah jika ide-idenya dikomunikasikan dengan jelas.
Selain itu, dalam pengkomunikasian sains perlu ditentukan kelompok sasarannya secara selektif. Tidak bisa satu materi komunikasi sains dengan satu platform media digunakan untuk seluruh penduduk Indonesia yang beragam tingkat pendidikan, pengetahuan, maupun budayanya. Pendekatan komunikasi dengan bahasa daerah atau menggerakkan tokoh lokal, seperti tokoh masyarakat dan tokoh agama juga perlu dipertimbangkan.
Penggunaan istilah-istilah teknis kesehatan maupun manajemen pengendalian penyakit yang rumit juga harus dihindari.Pemakaian istilah yang tidak konsisten, seperti lockdown atau karantina wilayah, pembatasan sosial berskala besar (PSBB), pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) hingga PPKM mikro hanya membuat warga tambah bingung hingga akhirnya tak mau peduli.
Hal-hal yang disampaikan ke masyarakat seharusnya lebih terfokus kepada informasi yang dibutuhkan dan ditata sesuai skala prioritasnya. Informasi yang belum pasti perlu hati-hati diterangkan ke masyarakat hingga masyarakat bisa mengambil langkah-langkah antisipasi secara terukur, bukan malah membuat bingung, menakuti, atau menambah kecemasan masyarakat.
Di luar pendekatan logika, pendekatan emosional dan ikatan kemanusiaan dinilai Wucker lebih ampuh untuk mendobrak pertahanan para penyangkal Covid-19. Hal itu berarti makin banyak orang yang dikenal dan semakin dekat hubungannya dengan seseorang menderita akibat paparan virus SARS-CoV2, maka peluang dia untuk menganggap serangan virus ini sebagai persoalan yang serius akan makin besar.
Selain itu, ajakan untuk selalu mengingat dan mendahulukan kepentingan orang lain di atas kepentingan diri atau kelompok juga bisa dikampanyekan untuk terus membangun kesadaran bahwa Covid-19 adalah persoalan bersama. Karena itu, satu-satunya cara menyelesaikan pandemi yang sudah berlangsung hampir 1,5 tahun ini dan tidak jelas kapan akan berakhir itu, dibutuhkan kerja dan kepedulian bersama.
NIlai-nilai masyarakat Indonesia yang mengutamakan kepentingan umum perlu diberdayakan. Keegoisan dengan alasan capek dengan pandemi hingga melakukan hal-hal yang melanggar protokol kesehatan tak dapat dibenarkan dalam semua nilai dan norma masyarakat. Dengan demikian, kelelahan jiwa akibat berbagai tekanan yang muncul selama pandemi perlu dikelola dan dilepaskan tanpa harus merugikan dan membahayakan orang lain, khususnya orang-orang terdekat di sekitar kita.
Aku jaga kamu, kamu jaga aku. Kepedulianmu menjaga Indonesia dan memuliakan kemanusiaan.
Note: di copypaste dari kompas.id (30/6/2021)
https://www.kompas.id/baca/dikbud/2021/06/30/menyangkal-korona