18
Sat, May

Dunia Pendidikan Gamang Karena Dualisme Standar Nasional

Ilustrasi / Clakclik.com

Inspirasi
Typography
  • Smaller Small Medium Big Bigger
  • Default Helvetica Segoe Georgia Times

Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 Tentang Standar Nasional Pendidikan yang baru diundangkan pada 31 Maret 2021 sudah diajukan untuk direvisi kembali.

Clakclik.com, 19 Mei 2021—Payung hukum untuk menaungi kebijakan agar implementasi di lapangan berjalan mulus, sejatinya sah-sah saja. Namun, jika payung hukum belum seumur jagung dan tiba-tiba sudah direvisi lagi, maka tanda tanya pun mengemuka. Inilah yang membingungkan dunia pendidikan dengan hadirnya Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 Tentang Standar Nasional Pendidikan. PP ini baru diundangkan 31 Maret 2021 dan kini sudah diajukan untuk direvisi.

Hal paling mengemuka adalah hilangnya mata kuliah Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagai mata kuliah wajib di perguruan tinggi. Ternyata, di pendidikan dasar dan menengah pun, sejak diberlakukan Undang-Undang Sisidiknas 2003, Pancasila hanya dimasukan dalam Pendidikan Kewarganegaraan. Lebih tajam lagi, dipertanyakan roh dan nilai-nilai Pancasila dalam menaungi sistem pendidikan nasional. Padahal pendidikan menjadi tulang punggung suatu bangsa dalam upaya menjaga dan mewariskan nilai-nilai dasar Pancasila dan budaya Indonesia.

Ternyata, kegaduhan PP No. 57/2021 tak berhenti pada menjadikan Pancasila sebagai mata pelajaran/mata kuliah wajib. Hadirnya PP tentang Standar Nasional Pendidikan ini juga menimbulkan dualisme dalam eksositem pendidikan nasional yang sudah terbentuk.

“Bisa dibilang, Kemendikbud Ristek jadi kepeleset sendiri karena PP No. 57/2021 ini. Malah jadi benang kusut dan menimbulkan kebingungan karena ada dualisme. PP No. 57/2021 yang baru diundangkan tapi buru-buru direvisi, lalu ada juga PP Standar Nasional Pendidikan yang lama. Yang menjalankan di lapangan jadi ragu-ragu,” kata Kepala Bidang Pendidikan NU Circle Ahmad dari Depok, Selasa (18/5/2021).

Dalam diskusi virtual Ngopi Seksi : Ngobrol Pintar Seputar Kebijakan Edukasi yang membahas implikasi PP No. 57/2021, pekan lalu, terungkap kegamangan tentang sejumlah hal dalam ekosistem pendidikan nasional. Hilangnya Pancasila sebagai mata pelajaran/mata kuliah wajib hanya salah satu soal. Keragu-raguan mencuat karena di dalam PP yang baru ini tak secara eksplisit menyebut kiprah dari Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN S/M) dan BAN Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Non-Formal, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), pengawas/penilik sekolah, hingga Dewan Pendidikan Nasional.

“Kami para pengawas sekolah masih dilibatkan kok dalam beberapa program Kemendikbud, seperti guru penggerak dan sekolah penggerak. Lalu kami bertanya-tanya ketika di PP No. 57/2021, mengapa istilah pengawas sekolah tidak ada?,” ujar Agus Sukoco, Ketua Asosiasi Pengawas Sekolah Indonesia (APSI).

Lalu, APSI pun menjawab ketidakjelasan status pengawas sekolah dengan menggelar survei daring yang melibatkan guru, kepala sekolah, siswa, dan dinas pendidikan daerah pekan lalu. Dari 150.000-an responden, peran pengawas 82 persen dianggap membantu mengatasi masalah sekolah dan mengembangkan sekolah. Kehadiran pengawas di sekolah juga dikatakan bermanfaat sebesar 85 persen, dan pengawas dibutuhkan di sekolah sebanyak 98,4 persen.

“Kiprah atau kinerja pengawas sudah mengalami banyak perubahan karena ada ketentuan untuk menjadi pengawas dari guru dan kepala sekolah terbaik. Semuanya sedang meraba-raba, berharap tetap ada dalam tenaga kependidikan di sekolah,” ujar Agus.

Ketua Ikatan Penilik Indonesia (IPI) Pusat Khoitul Mutaqin menyampaikan keraguan senada tentang eksistensi pengawas di pendidikan non-formal yang disebut penilik. “Ada pertanyaan besar, ke mana kita? Kenapa penilik tidak muncul. Kami menunggu dengan harap-harap cemas semoga nanti diatur dalam tenaga kependidikan di Peraturan Menteri,” ujar Khoitul.

Khoitul mencoba berprasangka baik dan mengaitkan hilangnya eksistensi penilik dengan istilah pedidikan non-formal yang tidak ada di rancangan peta jalan pendidikan yang disiapkan pemerintah. “Bisa jadi jadi berkah kalau semua pendidikan yang ada disebut sebagai pendidikan saja karena tidak ada dikotomi. Yang pendidikan non-formal selama ini terzolimi. Perlakuan pada pendidikan formal dan non-formal berbeda. Kalau hanya pendidikan, jadi berharap dapat perlakukan yang sama untuk pendidikan formal, non-formal, dan informal,” papar Khoitul.

Pertanyaan tentang eksistensi lembaga independen yang mengawal standar pendidikan juga disampaikan Anggota BSNP Suyanto. Amanah UU Sisdiknas, BSNP membuat standar pendidikan. “ Ada miskonsepsi tentang norma, standar, prosedur, dan kriteai (NSPK). Yang dibuat bukan standar pelaksana, tapi standar aplikasi implementasi. Jadi bikin sendiri, dilaksanakan sendiri. Mungkin ini yang membuat BSNP tidak diajak diskusi. Hanya diminta last minute untuk memberi masukan,” ujar Suyanto.

Menurut Suyanto, setelah PP Standar Nasional Pendidikan baru hendak direvisi, BSNP disurati dan diminta untuk memberi masukan. BSNP, kata Suyanto, kalau membuat hal yang al menyangkut standar semisal Pendidikan Jarak Jauh atau PAUD, ada uji publik, sehingga tahu kapasitas publik dalam melaksanakan atau memandang standar ke depan.

“Barangkali BSNP enggak dilibatkan karena ingin dihapuskan,” ujar Suyanto seraya tertawa.

Ketua BAN S/M Toni Toharudin, mengatakan standar nasional pendidikan merupakan produk hukum untuk mengantisipasi kesenjangan dan dinamika sistem pendidikan saat ini. Perubahan Standar Nasional Pendidikan hal yang wajar. Di dalam PP Standar Nasional Pendidikan yang baru, soal akreditasi memang disebutkan. Bahkan, peran lembaga akreditasi yang dilakukan pemerintah pusat didukung pula oleh lembaga akreditasi mandiri (LAM).

“Kewenangan akreditasi tetap oleh pemerintah pusat dilaksanakan oleh suatu badan. Namun, tidak ada lagi nomenklatur BAN S/M dan BAN PAUD/PNF,” jelas Toni.

Toni mengatakan secara fundamental untuk akreditasi tetap sama di PP Standar Nasional Pendidikan baru. Namun, ada konsekuensi logis perubahan struktur, tugas, fungsi. BAN bukan badan evaluasi mandiri, ada kemungkinan BNA S/M tidak berdiri sendiri sebagai lembaga non-struktural, tapi masuk ke direktorat Kemendikbud Ristek.

Dari diskusi virtual Ngopi Seksi terungkap jika memang Mendikbud Ristek dan jajarannya hendak mengatur Standar Nasional Pendidikan yang adaptif untuk masa depan pendidikan, seharusnya diubah secara fundamental sehingga bisa memperlihatkan akselerasi peningkatan mutu pendidikan. Desakan agar ada harmonisasi, sinkronisasi, dan konsistensi dari peraturan di atasnya serta melibatkan pihak-pihak terkait diyakini jadi wujud gotong-royong untuk mengembangkan masa depan pendidikan yang berkualitas.

“Kalau PP 57 belum apa-apa sudah diajukan direvisi, ya seperti skripsi ditolak dosen pembimbing,” ujar praktisi pendidikan Indra Charismadji sebagai moderator Ngopi Seksi. (c-hu)

Sign up via our free email subscription service to receive notifications when new information is available.