Ide untuk membuat 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional muncul pada 1978 saat kongres ke-16 Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Padang, Sumatera Barat. Saat itu ketua PWI dijabat oleh Harmoko, pemimpin redaksi Pos Kota yang kemudian menjadi Menteri Penerangan.
Editorial | Clakclik.com | 9 Februari 2021
Pilihan tanggal 9 Februari didasari pada hari lahir PWI, sehingga akan lebih tepat jika diperingati sebagai ultah organisasi. PWI sendiri di era orba jadi stempel bagi pemerintah dalam memberangus kebebasan pers, bahkan mendiamkan aksi pemberedelan yang dilakukan oleh rezim.
Melalui Keputusan Presiden RI Nomor 5 tahun 1985, Hari Pers Nasional resmi diperingati setiap tahun di tanggal 9 Februari. Tapi apakah tanggal 9 Februari masih layak diperingati khususnya sejak rezim Orde Baru jatuh di tahun 1998?
Sekelompok jurnalis dan penulis pada 7 Desember 2007 mendeklarasikan Hari Pers Indonesia (versi lain) di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung. Pemilihan tanggal 7 Desember didasarkan pada hari meninggalnya Tirto Adhi Soerjo, bapak pers nasional.
Dalam buku Seabad Pers Kebangsaan (2007), Taufik Rahzen menulis bahwa semestinya yang menjadi tonggak bagi kehidupan pers di Indonesia adalah Tirto Adhi Soerjo yang merupakan pemimpin redaksi Medan Prijaji, media pertama berbahasa Melayu yang seluruh pekerjanya orang Indonesia.
Tirto merupakan orang pertama yang menggunakan surat kabar sebagai alat melawan pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu. Mungkin kamu pernah membaca kisahnya dalam buku Tetralogi Buru dan Sang Pemula. yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer.
Dengan melihat dua latar belakang tersebut, menurutmu apakah hari ini masih relevan diperingati sebagai Hari Pers Nasional?
(Dikutip dari thread twitter Remotivi, 9/2/2021)