Kebutuhan bantuan sosial di era pandemi sangat jelas. Dana yang digelontorkan pun deras. Namun, tidak semua bisa merasakannya gara-gara data belum berkualitas.
Editorial | Clakclik.com | 8 Juni 2020
Itulah gambaran pendistribusian bantuan sosial pada dua bulan pertama, April hingga Mei, yang banyak dikeluhkan warga baik secara langsung di lapangan maupun di media sosial.
Mereka yang seharusnya tak berhak menerima bantuan ada yang mendapatkannya. Ada yang seharusnya menerima mereka tak mendapatkannya. Jumlah bantuan sosial (bansos) salah sasaran boleh jadi tidak signifikan, tetapi betapa sayangnya bantuan yang sangat berarti itu jika tidak bisa dinikmati oleh mereka yang benar-benar membutuhkannya.
Hingga kini ada tujuh macam bansos untuk membantu warga dalam menghadapi pandemi Covid-19. Kementerian Sosial menyediakan empat macam, yaitu dua bansos reguler (Program Keluarga Harapan Rp 8,3 triliun dan kartu sembako bantuan pangan nontunai Rp 15,2 triliun) serta dua nonreguler (bansos sembako Rp 3,4 triliun dan bansos tunai Rp 16,2 triliun). Bantuan kelima adalah bantuan langsung tunai (BLT) dana desa dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Rp 21,57 triliun. Keenam, bansos yang disediakan pemerintah provinsi. Ketujuh, bansos yang disediakan pemerintah kabupaten/kota.
Total anggarannya tak sedikit. Lima bansos pertama mencapai Rp 64,67 triliun. Apabila didistribusikan tepat sasaran, bisa menjangkau 52,8 juta keluarga atau hampir 69 persen dari total keluarga nasional, sekitar 75,7 juta. Ini belum termasuk dari provinsi, kabupaten, dan kota yang jumlahnya pun sangat besar.
Sumber masalah dari salah sasaran ini adalah tidak akuratnya data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) sebagai basis data pendistribusian. Data yang diterbitkan pemerintah pusat pada 2016 ini ternyata belum diperbarui banyak daerah.
Pada era negara-negara di dunia terus gencar mengembangkan data raksasa, baik dari sisi volume maupun variasi, dengan sistem pemrosesan data menggunakan komputasi supercepat, kita masih memble, tertatih-tatih merapikan data kependudukan dengan sistem kerja tradisional.
Hal ini adalah pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan untuk mengatasi ketertinggalan. Tanpa data berkualitas, bangsa ini tak akan mampu membuat kebijakan yang berkualitas dan mengimplementasikannya secara cepat dan tepat.