METANA atau CH4 menjadi salah satu gas yang memicu pemanasan global dan krisis iklim. Ia salah satu gas rumah kaca yang mengotori atmosfer dengan kekuatan 23 kali lipat dibanding karbon dioksida (CO2). Metana diproduksi oleh sampah, termasuk sampah yang diserap oleh tanaman di dasar danau.
Sementara danau, dan perairan lain, menyerap 23% gas rumah kaca yang dipantulkan atmosfer ke bumi. Saat ini jumlah produksi emisi dunia rata-rata 51 miliar ton setara CO2 setahun. Emisi sebanyak itu telah menaikkan gas rumah kaca di atmosfer sebanyak 414 part per million pada 2020. Akibatnya suhu bumi naik 0,90 Celsius dibanding masa praindustri 1800-1850.
Di perairan, fitoplankton, tanaman berukuran mikro yang melayang di air, menyerap gas-gas rumah kaca untuk tumbuh dan berperan dalam fotosintesis bagi ekosistem perairan. Fitoplankton adalah tumbuhan yang berperan dalam memberikan warna danau: semakin hijau semakin banyak, dan perairan yang biru menunjukkan jumlah fitoplankton semakin sedikit.
Seperti umumnya mahluk hidup, fitoplankton menyerap CO2 sebagai makanan. Daur proses penyerapan itu menghasilkan sampah berupa metana yang menjadi sumber pangan bagi bakteri metanotrof. Pesaing utama dalam rantai makanan itu adalah zooplankton, hewan renik di bawah air, yang lahap memakan metana. Maka jika metanotrof melimpah, jumlah zooplankton cenderung turun.
Dalam siklus tersebut, metana akan dilepaskan kembali ke udara dan menjadi pengotor atmosfer yang memicu pemanasan global. Bagaimana agar metana itu tetap di dalam danau sehingga ekosistemnya menjadi penyerap gas rumah kaca dalam krisis iklim?
Shawn Devlin dari Universitas Montana Amerika Serikat coba mencari caranya. Melalui publikasi di jurnal Nature Communications ia melakukan percobaan dengan mengukur pelepasan gas rumah kaca dari dua baskom yang diisi air + ikan serta baskom yang hanya diisi air. Setiap jam ia mengukur pelepasan gas rumah kaca dari keduanya.
Hasilnya mengejutkan. Jumlah gas rumah kaca, terutama metana, sepersepuluh lebih sedikit dibanding metana yang dilepas dari baskom tanpa ikan. Artinya, ikan memakan metana dalam zooplankton atau metanotrof. Zooplankton atau metanotrof memang sumber pangan ikan.
Alam telah mengatur siklus makanan tersebut dengan sempurna. Karena itu danau tanpa ikan, meski ia menyerap gas rumah kaca, juga menjadi sumber pelepasan gas rumah kaca karena tak ada mahluk hidup yang berada di rantai makanan paling akhir dari siklus alamiah danau.
Danau-danau di hutan boreal, terutama di belahan bumi utara, biasanya tak memiliki banyak ikan karena acap membeku ketika musim dingin. Akibatnya, danau di hutan boreal menyumbang 6-16% jumlah gas rumah kaca di atmosfer dengan produksi emisi sebanyak 8-48 miliar ton setahun.
Dalam Identifikasi Danau Indonesia, buku terbitan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, kita memiliki 5.807 danau seluas 580.000 hektare. Dari jumlah itu, sebanyak 4.000 danau berukuran kecil dan baru 2.000 yang memiliki nama. Danau tropis dengan matahari melimpah biasanya rimbun dan memiliki beragam mahluk hidup, baik tanaman maupun hewan renik. Dengan keragaman ekosistem itu perannya menjadi penting dalam mencegah krisis iklim.
Dengan paradigma dan prinsip yang sama, percobaan Devnil bisa diadopsi untuk pertanian, terutama sawah basah untuk padi. Lahan pertanian adalah hasil konservasi lahan hutan sehingga turut menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca. Secara global, lahan pertanian menyumbang 10-14% emisi gas rumah kaca di atmosfer, paling banyak berupa gas metana.
Maka jika sawah ditanami dengan ikan, metana yang diproduksi oleh padi dan hewan renik yang diproduksi akar dan air akan tak menguap ke udara menjadi gas rumah kaca. Dalam percobaan Devnil di California, Amerika Serikat, gas rumah kaca di sawah yang ditanami ikan 64% lebih sedikit dibanding sawah yang hanya padi.
Percobaan ini bisa ditiru di mana pun, meski belum ada penelitian untuk daerah tropis dan dampaknya terhadap kualitas padi. Namun, konsep wanamina atau perikanan di hutan adalah penggabungan dua jenis budidaya yang terbukti secara ilmiah meningkatkan kualitas ekologis dan ekonomi.
Dengan cara seperti itu, pertanian yang menjadi dilema antara pemenuhan kebutuhan pangan manusia dan penyebab krisis iklim memiliki irisan dan solusi. Krisis iklim adalah siklus alam yang dipaksa oleh aktivitas manusia. Maka solusinya juga mesti kembali ke dalam siklus dan hukum alam itu.
Artikel asli terbit di Majalah Forest Digest | 3 Maret 2021. Disebarkan Clakclik.com untuk kepentingan edukasi publik