Oleh: Hasanudin Abdurakhman | Penulis Buku Melawan Miskin Pikiran
Mengkritik pemerintah itu wajib hukumnya bagi setiap warga negara. Tentu saja bila memang ada hal yang perlu dikritik. Artinya, kita tidak perlu mengada-ada, mencari-cari kesalahan pemerintah untuk dikritik. Sebaliknya, bila ada hal-hal baik yang dikerjakan pemerintah, jangan sungkan untuk memuji dan memberi penghargaan. Ini sebenarnya cara berpikir yang normal dan wajar saja dalam hubungan sosial. Kalau ada yang baik tidak diakui, atau sebaliknya ada yang buruk dibela terus, itu tanda orang sakit jiwa.
Bagaimana kritik yang baik? Bagi saya kritik yang baik itu spesifik, alias jelas juntrungannya. Ketika Jokowi mengatakan soal gelombang kedua Covid19, saya kritik perkataan dia. Sebab, boro-boro bicara soal gelombang kedua. Kita ini sedang menanjak. Bicara soal gelombang kedua itu seolah kita sudah pernah berhasil mengatasi wabah Covid19. Itu persepsi yang salah.
Ketika Mendikbud bicara soal sekolah negeri yang sebaiknya untuk rakyat kurang mampu saja, itu juga saya kritik. Itu pandangan keliru. Konstitusi dan UU Pendidikan Nasional menetapkan bahwa penyediaan fasilitas pendidikan bagi rakyat itu adalah kewajiban pemerintah. Tidak ada pemilahan, seolah pemerintah perlu memprioritaskan rakyat miskin. Ini bukan urusan pembagian BLT (bantuan langsung tunai).
Itu contoh kritik yang spesifik. Kritik yang tidak jelas juntrungannya adalah yang memakai narasi "negara ini sedang karam", "pemerintah amburadul" dan hal-hal umum yang tidak jelas. Itu kritik orang bodoh yang tidak sanggup menunjuk masalah dan menjelaskannya secara sistematis.
Selain itu kritik yang baik mendorong pemerintah untuk menyelesaikan masalah. Bukan ingin mengganti pemerintah. Meski saya bukan pendukung Anies Baswedan, misalnya, saya tak pernah menganggap dia harus berhenti dari jabatan. Perbaiki kinerja, itu saja. Para gelandangan politik biasanya lebih bersemangat mencari jalan untuk menurunkan pemerintahan yang sah ketimbang mengkritik untuk perbaikan.
Kritik selayaknya disampaikan terkait kebijakan yang dibuat pemerintah, bukan ke pribadi. Sebagai warga negara kita tidak punya kepentingan dengan urusan pribadi pejabat negara. Sebaliknya, tentu saja, kita harus sangat kritis ketika pejabat negara tidak dengan tegas memisahkan urusan kenegaraan dengan urusan pribadi mereka.
Kritik, sekali lagi, berisi semangat memperbaiki, bukan membenci. Isinya jelas soal apa yang harus diperbaiki. Kritik tidak perlu disampaikan dengan narasi kebencian, apalagi sampai bernuansa rasisme. Menuduh Jokowi PKI adalah narasi fitnah dan kebencian. Menyebut "Wan Abud" kepada Anies Baswedan adalah sikap rasis.
Saya menghargai orang-orang yang menyampaikan kritik. Saya sangat alergi pada penjilat dan pemuja pemerintah.