Oleh: Saiful Maarif
ASN pada Ditjen Pendidikan Islam Kemenag, tinggal di Jakarta, rumah virtualnya ada di www.saifulmaarif.com
Dalam pertemuan dengan berbagai pihak, utamanya organisasi guru, pada November 2019 Mendikbud Nadiem Makarim menyoroti pentingnya perubahan kurikulum pendidikan nasional. Dalam pertemuan itu, Nadiem mengatakan bahwa mengubah kurikulum itu tidak mengubah konten, namun menyederhanakan dan mengubah cara penyampaian materi kepada siswa untuk tidak sekadar menghafal (Jawa Pos 18-11-2019).
Wacana penyederhanaan itu akan ditempuh dengan, diantaranya, menjadikan bahasa Indonesia, matematika, bahasa Inggris, serta pendidikan karakter berbasis agama dan Pancasila sebagai mata pelajaran (mapel) utama di SD. Mapel Bahasa Inggris dihapus untuk SMP dan SMA, karena sudah dituntaskan di SD. Pembelajaran bahasa Inggris yang dimaksud Mendikbud Nadiem lebih difokuskan untuk mengajarkan percakapan, bukan lagi tata bahasa. Kemudian, untuk SMP, tidak boleh lebih dari lima mapel yang diajarkan kepada siswa, sementara di SMA maksimal ada enam mapel tanpa penjurusan.
Penyederhanaan kurikulum yang dimaksud untuk membuat pendidikan lebih relevan sehingga kompetensi lulusan semua satuan pendidikan sesuai dengan tuntutan zaman, kini dan mendatang. Ikhtiar penyederhaan adalah untuk mempersiapkan para siswa menghadapi kehidupan masa depan, bukan masa lampau.
Dalam konteks kualitas sumberdaya manusia dan daya saing, penyederhanaan kurikulum juga diharapkan bisa menjawab dua situasi penting.
Pertama, rendahnya skor literasi siswa Indonesia. Laporan PISA berdasar penilaian terhadap 600.000 anak berusia 15 tahun dari 79 negara setiap tiga tahun sekali. Studi ini membandingkan kemampuan matematika, membaca, dan kinerja sains dari tiap anak Hasil PISA 2018 menunujukkan kemampuan siswa Indonesia dalam membaca mendapatkan skor rata-rata 371, sementara rerata keseluruhan adalah 487. Untuk skor rata-rata matematika siswa Indonesia adalah 379 (rata-rata keseluruhan 487), sains 389 (rata-rata keseluruhan 489). Dalam konteks kemampuan membaca, PISA mencatat rata-rata anak Indonesia berada pada peringkat 6 dari bawah atau peringkat 74. Skor rata-rata Indonesia adalah 371 (rata-rata keseluruhan 377 persen).
Kondisi seperti ini belum jauh beranjak dari data serupa beberapa tahun sebelumnya. Data tahun 2018 ini masih “istiqamah” dengan data tahun 2011. Hasil tes Progress International Reading Literacy Study (PIRLS) tahun 2011 yang mengevaluasi kemampuan membaca peserta didik kelas IV menempatkan Indonesia pada peringkat ke-45 dari 48 negara peserta dengan skor 428, di bawah nilai rata-rata 500 (IEA, 2012). Pada tahun 2012, dari 65 peserta survey, PISA mencatat kemampuan membaca siswa Indonesia ke-64 dengan skor 396 (skor rata-rata OECD 496) (OECD, 2013).
Kedua, gelombang disrupsi. Disrupsi di semua lini kehidupan telah menjadi fenomena dan tantangan tersendiri. Revolusi Industri 4.0 telah menjadi keran pembuka perubahan yang masif dalam bidang industri, budaya, sosial, dan bidang lainnya. Pendidikan, sebagai matra yang bersinggungan erat dengan ranah budaya dan sosial, dengan sendirinya berada dalam arus perubahan itu.
Namun demikian, menjalankan penyederhanaan kurikulum juga akan berhadapan dengan banyak persoalan. Diantaranya soal kesiapan guru; misalnya dalam hal mengelola konten perubahan. Dengan isu ide penambahan materi baru berupa pelajaran coding kepada siswa, perlu dilihat dengan serius bagaimana kesiapan guru dalam menjalankan penambahan pelajaran tersebut.
Hal yang tidak kalah pelik adalah soal sinkronisasi dengan regulasi pembelajaran dan jam mengajar. Penyederhaan artinya mengurangi tingkat kepadatan. Jika kepadatan adalah pararel dengan ketersediaan jam mengajar, bagaimana pengelolaan jam mengajar yang sudah diatur dan diamanatkan oleh regulasi? Alokasi jam mengajar terkait erat dengan kewajiban guru untuk memenuhi kewajiban profesional yang beririsan dengan tunjangan yang diterima. Artinya, jam mengajar terhubung langsung dengan urusan kesejahteraan guru, hal mana sangat fundamental dan sensitif di Indonesia.
Sesungguhnya nilai dasar kurikulum 2013 sudah memuat pendekatan pemelajaran yang menekankan pada kemampuan peserta didik dalam mencari tahu dari berbagai sumber, merumuskan permasalahan, berpikir analitis, dan berkolaborasi dalam menyelesaikan masalah. Namun terdapat paradoks pemelajaran, di mana satu sisi ada kehendak mendorong siswa agar mampu betindak dan berkualitas, akan tetapi pada sisi lain tidak tersedia waktu dan kesempatan yang memadai bagi siswa karena padatnya pelajaran.