Ditengah keriuhan pentas grup barongan, seorang kakek dengan menggendong orgen di depan dan sound dibelakang jari-jarinya bergerak lincah. Ia terlihat serius. Sesekali tangannya meraba panel yang mengatur keras pelannya suara di dinding sound yang digendongnya.
Dialah Hadi Prabowo, 72 tahun. Orang-orang memanggilnya Mbah Bowo. Lansia buta warga Desa Sukolilo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Anggota grup barongan ‘Mustiko Budoyo’ Sukolilo.
Lelaki buta itu menjadi salah satu anggota grup yang memegang posisi penting; yakni memainkan orgen yang dimodifikasi, disambungkan dengan kotak hitam serupa salon atau sound system hingga suaranya menjadi seperti suara terompet.
Tonton juga: https://www.clakclik.com/video/51-videos/741-paguyuban-barongan-mustiko-budoyo-sukolilo-pati
Hari itu, Minggu (9/11/2019), grup barongan ‘Mustiko Budoyo’ akan melakukan pentas keliling kampung dengan berjalan kaki mengikuti sebuah karnaval. Semua personil bertanggungjawab terhadap alat musik masing-masing. Mbah Bowo, ia harus menggendong orgen di depan dan kotak ‘sound’ hitam dibelakang.
Meski dalam suasana panas terik dan tubuh yang sedang kurang sehat, Mbah Bowo tetap antusias. Ia minta agar diberikan helm untuk menutupi kepalanya. Diberilah oleh salah satu anggota grup helm cakil. Tampilan Mbah Bowo jadi terlihat aneh: seorang lelaki tua dengan orgen menggantung di dada dan kotak hitam menggelayut di punggung plus di kelapa terdapat helm cakil mirip pembalap F1.
Antusias dan semangat Mbah Bowo bukan tak beralasan. Ia mengaku haus akan pementasan kesenian. Ia mengaku bahwa darahnya mengalir kencang dan sekujur tubuhnya langsung tergerak saat mendengar bebunyian alat musik. Itulah alasannya saat seorang tetangga menawarinya bergabung pada kelompok barongan, ia langsung menerimanya tanpa syarat.
“waktu muda dulu, saya bekerja sebagai kuli bangunan. Tapi saya juga berkesenian. Tahun 1959 saya main kethoprak. Disini, di Sukolilo. Lalu pada saat saya pindah di Semarang, saya juga bergabung dengan grup kethoprak disana. Lalu, saya juga pernah main klonengan tahun 1975,” Cerita Mbah Bowo.
Mbah Bowo mengaku, disela-sela bekerja sebagai buruh bangunan, ia terus berkesenian. Ia mengaku kadang justru pentas kesenian yang menghidupi dirinya dan keluarga pada saat sepi kerjaan bangunan.
Tahun 1994 ia mengalami musibah. Matanya mendadak buta. Tidak diketahui dengan jelas apa penyebabnya. Seingatnya kebutaan terjadi setelah ia mencabut giginya. Mulai saat itu, ia terhambat untuk aktif berkesenian.
Di usia senjanya, setelah puas melanglang buana, Mbah Bowo kembali ke Sukolilo. Karena tidak memiliki keluarga, ia menumpang hidup di rumah adik iparnya. Segala kebutuhannya ditanggung oleh adik iparnya. Sesekali ia membantu bekerja di ladang semampunya.
“Ya begini keseharian saya. Duduk-duduk, makan, udud, ngopi. Sesekali saya ke ladang membantu sebisa saya. Malam selasa dan malam jum’at latihan barongan di rumah Pak Karjo, ketua paguyuban,” Kata Mbah Bowo.
Meski begitu, sejak 2013, Mbah Bowo resmi menjadi warga Desa Sukolilo. Punya KTP dan kartu keluarga (KK) menyatu dengan adik iparnya.
Mbah Bowo mengaku sudah tidak memikir apa-apa lagi. Ia ingin menikmati hidupnya dengan semeleh. Menjalani hidup seadanya dan berkesenian.
Ia hanya berharap bahwa kesenian-kesenian tradisional budaya bangsa ini dilestarikan. Dikenalkan pada anak-anak muda dan mengajak anak-anak muda untuk terlibat.
“Kelompok Barongan Mustiko Budoyo yang saya terlibat ini juga mengajak anak-anak muda. Alat musiknya juga sebagian menggunakan alat musik modern seperti drum, dan beberapa lainnya. Jangan semuanya pakai alat tradisional, nanti anak-anak muda tidak tertarik,” Pungkas Mbah Bowo.
Suradi (53 tahun), orang yang selalu setia antar jemput Mbah Bowo dengan sepeda motor untuk latihan mengaku senang dengan keterlibatan Mbah Bowo di grup barongannya. Lelaki penabuh gendang ini mengaku bahwa latihan jadi tidak bersemangat saat Mbah Bowo tidak bisa bergabung.
“Mbah Bowo itu penyemangat kami. Beliau itu sudah tua, buta, tapi begitu antusias pada kesenian tradisional. Kami yang masih muda jadi malu kalau tidak peduli. Mbah Bowo memberi energi yang luar biasa bagi kelompok kami,” kata Suradi. (Tim Clakclik.com)