25
Mon, Nov

Bertanya Butuh Pengetahuan dan Ketrampilan

Ilustrasi / Clakclik.com

Inspirasi
Typography
  • Smaller Small Medium Big Bigger
  • Default Helvetica Segoe Georgia Times

Dari kasus Luna Maya, Helmy Yahya dan Anji kita seharusnya belajar bahwa mewawancarai orang itu bukan sekadar bertanya.

Editorial | Clakclik.com | 5 Agustus 2020

Untuk bertanya kita setidaknya membutuhkan dua hal, yaitu nalar dan pengetahuan dasar. Isi pertanyaan bisa menunjukkan seseorang itu memahami topik yang sedang dibahas atau tidak.

Ketika Luna Maya ngobrol di mobil dengan seorang bernama Indro Cahyono tentang Covid-19 yang kemudian diposting di media sosial, Indro Cahyono seakan berkampanye kepada masyarakat bahwa Covid-19 itu tidak seganas yang disampaikan media. Luna Maya hanya bertanya dan merekam, ia tidak melakukan pendalaman apa yang disampaikan Indro Cahyono.

Saat Doktor Ichsanuddin Nursy mengatakan bahwa thermo gun yang disorotkan ke kepala bisa merusak otak, seharusnya Helmy Yahya bisa mengelaborasi dan konfirmasi lebih lanjut sehingga pemirsa dan penikmat wawancaranya tidak salah paham.

Begitu juga Ketika Hadi Pranoto bicara soal panas untuk membunuh virus pada suhu 350 derajat. Harusnya Anji (sang pewawancara) menakar kebenaran pernyataan itu. Sains dasar menjelaskan bahwa bakteri dan kuman itu mati di suhu 100 derajat. Karena itulah kita memasak makanan dengan cara merebus. 100 derajat celcius adalah titik didih air.

Tidak hanya untuk Luna Maya, Helmy Yahya dan Anji, namun hal ini sesungguhnya berlaku umum. Dalam dunia jurnalistik, skeptis (ragu-ragu, tidak percaya begitu saja) adalah salah satu dasar penting seorang pewawancara (atau katakanlah wartawan).

Pewawancara, wartawan atau tukang tanya yang sedang menyiapkan bahan untuk disajikan kepada khalayak harus memiliki kemampuan untuk menalar dan memiliki referensi yang cukup dalam setiap topik wawancaranya.

Termasuk juga ketika kita mendapatkan siaran pers, konfrensi pers dan mendengar pernyataan tokoh atau pejabat tertentu, kita tidak boleh buru-buru menerimanya sebagai sebuah fakta. Fakta jika mereka menulis, dan atau bicara memang betul, namun apakah fakta itu mengandung kebenaran universal, masuk akal, dan secara etik bisa diterima publik itu pertimbangan penting yang harus dilakukan jika hendak disajikan ke publik.

Tantangannya; saat ini kita sedang berhadapan dengan komplikasi kepentingan yang ruwet: bisnis, ketenaran dan penyakit narsis. Orientasi mendapatkan materi berlimpah dari hasil wawancara, menjadi trending topik dan terkenal serta orientasi-orientasi daging lainnya mendominasi aneka konten yang saat ini bertabur di media online. Tingkat literasi warga yang rendah, menjadi lahan subur kepentingan-kepentingan itu.

Kita, seakan kehilangan rasa empati. Ditengah perjuangan para tenaga medis yang hampir tiap hari dikabarkan ada yang meninggal karena merawat pasien Covid-19, ditengah jerih payah para ahli vaksin bekerja siang malam untuk meneliti, tiba-tiba ada pihak yang mengklaim menemukan kalung anti Covid-19, sudah menjual obat herbal anti Covid-19 ke Ratu Elisabet II dan yang baru muncul ada orang yang mengatakan bahwa dirinya sembuh dari Covid-19 karena mengonsumsi sari tebu. Tentu saja orang boleh percaya dan tidak percaya, tapi bukankah kita semua memiliki pedoman universal berupa etika, rasa terhadap sesama. Minimal, janganlah kita bikin orang jengkel disaat orang lain sedang berjuang.

Namun, sekali lagi, Kembali ke persoalan wawancara atau bertanya, kita perlu paham bahwa wawancara atau obrolan yang bermutu tidak sekadar memerlukam kemampuan mengoceh. Akan tetapi membutuhkan pengetahuan dasar untuk melakukannya. Kalau tidak, kita hanya akan menghasilkan obrolan sampah bahkan racun bagi publik. Dosanya berlipat ganda: dunia-akherat!

Sign up via our free email subscription service to receive notifications when new information is available.