Oleh: Husaini (Direktur Institut Hukum dan Kebijakan Publik/INHAKA)
Dalam kurun waktu seperempat abad, progres keterwakilan perempuan di parlemen tampak belum membaik meskipun telah meningkat; dari keterwakilan 9 persen di Pemilu 1999 menjadi 21,9 persen di hasil Pemilu 2024.
Artinya, jalan masih panjang untuk mencapai minimal 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan UU No 7/2017 tentang Pemilu. Tantangan untuk mencapainya pun masih besar karena terutama terkait budaya patriarki yang masih mengakar kuat di masyarakat.
Masyarakat kita belum terbiasa dengan peran politik perempuan, tidak sedikit yang berpandangan politik identik dengan dunia laki-laki.
Meski masyarakat menilai perempuan sudah memiliki kapasitas, namun, perempuan Indonesia dinilai belum mumpuni dalam mengisi jabatan-jabatan politik di legislatif dan eksekutif.
Oleh karena itu, perlu lebih dari sekadar pendidikan politik dan mendorong partai politik meningkatkan kaderisasi bagi perempuan guna mendobrak budaya patriarki tersebut. Perlu langkah transformatif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan kesetaraan jender. Pendidikan yang mencerdaskan menjadi jalan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan inklusif.
Masih kuatnya dominasi laki-laki di parlemen, kita juga berharap kepada 21,9 persen perempuan parlemen untuk membuktikan bahwa keberadaan mereka bermakna. Sebab, keterwakilan perempuan di parlemen tidak sekadar jumlah, tetapi juga soal terlibat dan berperan dalam pembuatan keputusan-keputusan strategis. Perjuangan mereka belumlah selesai dengan terpilih sebagai anggota parlemen. Perjuangan yang sebenarnya adalah untuk mereka yang masih terpinggirkan. .
Dengan demikian, keberadaan mereka akan bermakna dalam demokrasi dan masa depan Indonesia. Dengan representasi yang bermakna, menjadi pembuktian bahwa mereka memiliki kapasitas (dan karena itu terpilih mengisi jabatan politik), dan juga pembuktian bahwa mereka mumpuni untuk jabatan tersebut. Situasi ini di harapkan bisa semakin membuka mata masyarakat bahwa partisipasi perempuan dalam politik tidak hanya sekadar memenuhi tuntutan keterwakilan.