Perubahan Iklim, Gas Rumah Kaca, dan Pola Makan Kita

Foto: Clakclik.com

Opini
Typography
  • Smaller Small Medium Big Bigger
  • Default Helvetica Segoe Georgia Times

Oleh: Husaini; Pengelola Omah Buku Uplik Cilik, Tinggal di Desa Pelemgede, Kecamatan Pucakwangi, Pati, Jateng

Secara sederhana, perubahan iklim adalah naiknya temperatur atau suhu rata-rata bumi yang bertambah lebih cepat dari biasanya. Hal ini terjadi karena panas matahari yang diserap bumi tidak bisa dikembalikan karena terhalang oleh gas-gas yang terperangkap di atmosfer.

Baca juga: https://www.clakclik.com/opini/78-opini/1635-teknik-pertanian-mencegah-krisis-iklim

Baca juga: https://www.clakclik.com/78-opini/1268-pati-dan-merangseknya-industri-footloose

Gas-gas itu populer disebut sebagai gas rumah kaca. Komposisi terbesar dari gas rumah kaca adalah karbondioksida. Hingga akhir 2019, Badan Meteorologi Dunia (WMO) melaporkan komposisi gas rumah kaca adalah 66 persen karbondiksida, 16 persen metana, 7 persen nitrogen oksida, dan 13 persen gas lainnya.

Gas-gas ini muncul dalam jumlah yang tidak terbendung karena aktivitas manusia. Dari sisi produksi, gas rumah kaca terbentuk dari penggunaan bahan bakar fosil, pembukaan hutan, pembangunan gedung, hingga penumpukan sampah. Produksi gas rumah kaca makin tidak terkendali karena rusaknya ekosistem yang berfungsi menyerap emisi gas tersebut.

Foto: Clakclik.com

Daya dukung hidup seperti ekosistem hutan rusak dan hilang. Hutan dialihfungsikan menjadi pabrik, perkebunan tanaman industri, peternakan, hingga perumahan. Ekosistem terumbu karang dan biota laut juga terancam karena pencemaran air hingga eksploitasi sumber daya.

Aneka upaya untuk pemulihan bumi saat ini sudah banyak dikampanyekan, seperti bijak dalam menggunakan plastik, air, listrik, hingga kendaraan bermotor. Namun, itu saja ternyata tidak cukup. Salah satu usaha yang masih jarang dipraktikan adalah kesadaran pada apa saja yang ada di atas piring dan meja makan kita. Pembicaraan tentang menyelamatkan bumi sudah saatnya diperluas hingga tentang apa yang kita makan.

Laporan Global Food System Emisions Could Preclude Achieving Climate Change Target yang diterbitkan jurnal Science pada 2020 menyebut selain pembakaran bahan bakar fosil, sektor agrikultur (baca: produksi pangan) juga punya kontribusi krusial dalam perubahan ikilm.

Produksi pangan menghasilkan emisi karbondioksiada dan metana. Pengelolaan sumber pangan berdampak pada alih fungsi hutan hingga pencemaran. Organisasi Climate Watch mencatat sumber gas rumah kaca global pada 2016 yang berasal dari jalan, perumahan, area komersil, industri, agrikultur dan perikanan mendominasi hingga 30,4 persen.

Para kontributor utama gas rumah kaca diantaranya adalah bidang transportasi dan industri konstruksi yang secara spesifik menyumbang masing-masing 15,9 persen dan 12,4 persen. Sedangkan kegiatan agrikultur kontribusinya terhadap gas rumah kaca mencapai sebesar 11,8 persen.

Dalam artikel “The Significance of Agricultural Source of Greenhouse Gases” yang diterbitkan lembaga Fertilizer Research pada 1994, aktivitas agrikultur menyumbang 25 persen dari toal emisi karbondioksida, 65 persen metana, dan 90 persen nitrogen oksida. Artinya, pangan yang diproduksi untuk dikonsumsi masyarakat turut menyumbang kerusakan pada lingkungan.

Foto: Clakclik.com

Brebt Loken, pakar pangan dari World Wildlife Fund (WWF), dalam wawancara dengan New York Times pada 12 Januari 2021 menyampaikan bahwa tujuan iklim tidak dapat dicapai tanpa perubahan dalam sistem pangan. Ia, bersama kelompok ilmuan The Lancet, merekomendasikan pengurangan 50 persen konsumsi global daging merah dan beberapa makanan lain hingga tahun 2050.

Pada 13 November 2017, jurnal BioScience menerbitkan manifesto “World Scientists’ Warning to Humanity: A Second Notice” yang disampaikan oleh 15.365 ilmuan dari 184 negara. Manifesto ini menegaskan tiga belas poin penting menjaga bumi, salah satunya usaha untuk mempromosikan diet baru yang mengarah pada makanan berbasis tumbuhan.

Patut disyukuri, kini pola makan atau diet sudah menjadi topik yang masuk dalam perbincangan kesehatan ataupun gaya hidup. Figur-figur yang menerapkan pola makan sehat berbasis tumbuhan juga makin banyak bermunculan. Hal ini menjadi harapan untuk makin meningkatkan kesadaran betapa apa yang ada di piring dan meja makan kita bisa berkontribusi pada usaha penyelamatan bumi.