Salah Kaprah Memahami Ketahanan Pangan di Pati

Ilustrasi / Clakclik.com

Opini
Typography
  • Smaller Small Medium Big Bigger
  • Default Helvetica Segoe Georgia Times

Oleh Husaini; Pengelola Omah Buku Uplik Cilik, Tinggal di Desa Pelemgede, Pucakwangi, Pati

“Kalau ketahanan pangan, Pati ini tidak perlu khawatir. Produksi pertanian masih melimpah”
Muhtar Efendi, Kepala Dispertanak Pati, Murianews.com (16/10/2020)

Badan Pangan Dunia FAO mendefinisikan ketahanan pangan sebagai “keadaan ketika semua orang, kapan saja, memiliki akses fisik, sosial, dan ekonomi terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi sesuai kebutuhan mereka demi kehidupan yang aktif dan sehat.”

Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, ketahanan pangan didefinisikan sebagai “kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.”

Dari konsep ketahanan pangan yang didefinisikan dalam UU 18/2012 tersebut, ukuran ketahanan pangan menggunakan tiga dimensi, yakni ketersediaan pangan, keterjangkauan/akses pangan, serta pemanfaatan pangan.

Intinya, konsep ketahanan pangan tidak hanya terkait dengan persoalan produksi, tapi juga bicara soal bagaimana manajemen stok dan stabilitas harganya, apakah masyarakat memiliki daya beli untuk menjangkau pangan yang ada serta bagaimana bahan pangan itu dimanfaatkan.

Kondisi di Kabupaten Pati

Tentang bagaimana bahan pangan itu dimanfaatkan di Kabupaten Pati menjadi topik yang penting untuk dianalisis.

Misalnya soal melimpahnya produksi ketela pohon. Tingginya produksi ketela pohon di Pati tidak terkait dengan persoalan konsumsi masyarakat pada komoditas ketela pohon, namun terkait dengan keberadaan pabrik tapioka yang kemudian hasilnya disebar untuk memenuhi pasar diluar Kabupaten Pati. Situasi seperti itu tidak bisa disebut bahwa komoditas ketela pohon sebagai bagian dari penunjang ketahanan pangan Kabupaten Pati.

Hal yang sama juga terjadi pada komoditas jagung yang kita semua tahu bahwa konsentrasi pemanfaatan jagung lebih banyak digunakan untuk produksi pakan ternak dibanding dikonsumsi masyarakat.

Bahkan, hal yang itu juga terjadi pada komoditas paling utama yakni beras. Meskipun produksi dan panen menghasilkan stok yang melimpah, namun tidak ada jaminan bahwa beras yang beredar di Kabupaten Pati merupakan beras lokal hasil panen petani Pati. Hal ini karena memang kita tidak memiliki sistem ketahanan pangan ditingkat lokal kabupaten.

Bahkan jika mau jujur, beras yang selama ini digunakan untuk program bantuan sosial baik program Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) maupun bantuan pangan program Bansos Covid-19, tidak ada jaminan bahwa berasnya bersumber dari hasil panen petani Pati; meskipun vendor penyedianya adalah pengusaha lokal Pati dan lokasi packingnya dilakukan di wilayah Kabupaten Pati.

Belum lagi jika bicara soal stabilitas harga dan daya beli masyarakat Kabupaten Pati atas bahan pangan. Dalam situasi normal saja, pemerintah tidak memiliki data yang valid soal daya beli masyarakat atas bahan pangan, apalagi di waktu pandemi seperti saat ini. Disaat banyak orang kehilangan pekerjaan dan belum tentu mereka semua mendapatkan bantuan sosial karena persoalan carut-marut data dan aneka masalah lainnya.

Jika hendak membangun sistem ketahanan pangan daerah, seharusnya pemerintah daerah/kabupaten menyusun peraturan daerah (Perda) tentang pangan sebagai kebijakan turunan UU 18/2012 tentang Pangan tersebut. Tanpa regulasi dan kebijakan yang jelas, klaim tentang ketahanan pangan di Pati hanya sebuah asumsi.